Kamis, 25 Maret 2010

Mengenal Kuliyyat Khomsah

Syari’at yang diturunkan oleh Syari’ kepada umat manusia tentunya memiliki sebuah tujuan. Sebagaimana yang tertuliskan dalam al qur’an, bahwa Allah tidak mungkin melakukan suatu hal yang sia – sia. Dengan melalui perantara para rosul, syari’at allah disampaikan kepada umat manusia sejak umat yang terdahulu seperti kaum nabi Nuh, kaum nabi Sholeh, nabi Luth dan seterusnya hingga umat muhammadiyah sekarang ini. Dari kesemua syari’at ini, pada khususnya syari’at islam datang tidak lain adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri dimasa sekarang ataupun yang akan datang.
Maka sebagaimana syari’at (al qur’an dan sunnah)yang memiliki sifat “petunjuk” bagi umat haruslah mencakup segala permasalahan dari awal turunnya syari’at hingga masa sekarang bahkan sampai akhir zaman.

Maka para ulama haruslah mengetahui hukum – hukum pokok ataupun kaidah – kaidah qoth’iyah dalam al qur’an, sehingga mereka dapat menentukan hukum berbagai masalah yang muncul pada masa – masa dewasa ini dengan mengkiyaskan permasalahan baru kepada sumber aslinya (al qur’an dan sunnah). Dan untuk dapat menkiyaskah masalah itu, tentunya juga harus mengetahui ‘illah dari pada kaidah – kaidah qoth’iyah dalam nash dan ‘illah dalam masalah yang baru tersebut.


Para ulama terdahulu sedikit berbeda pendapat tentang penetapan kaidah qoth’iyah pada ushul fiqh sebagaimana qoth’inya ushul ad Din. Maka imam as Syatibi memalui kitab muwafaqotnya berusaha menjadikan maqosid syari’ah kaidah qoth’yah dengan berbagai dalil dalam al qur’an. Seperti :
قال تعالى : ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم .
وقال أيضا : ولكم فى القصاص حياة
وقال أيضا : انما يريد الشيطان ان يوقع بينكم العداوة والبغضاء فى الخمر والميسر
Maka dengan adanya maqoshid syari’ah sebagai kaidah qoth’iyah, para ulama setelahnya dapat mengetahui ‘illatu at tasyri’ secara umum. Sehingga mereka dapat menentukan hukum permasalahan yang baru.
Dengan demikian maqoshid syari’ah merupakan sebuah ilmu yang penting dan menduduki posisi srtategis dalam menentukan hukum sebagai jawaban atas permasalahan yang muncul pada masa sekarang ini.


Penggagas
Ulama yang pertama kali merangkum bab ini menjadi sebuah ilmu tersendiri adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as Syathibi al Maliki yang meninggal tahun 790 H. Dalam kitabnya al Muwafaqot .

Pengertian Maqoshid Syari’ah
Secara bahasa: Maqoshidu as Syari’ah adalah bentuk idhofah yang tersusun dari dua kata, maqoshid dan syari’ah. Maqoshid adalah masda dari kata qoshoda yang berarti bermaksud, berniat dan menghendaki . Sedangkan syari’ah bermakna undang - undang .
Sedangkan secara istilah, penulis belum menemukan pengertian maqoshid syari’ah dalam kitab – kitab maqashid syari’ah seperti imam as Syathibi sendiri tidak mencantumkan maknanya secara istilah.

Setelah kita mengetahui tentang pengertian maqashid syari’ah secara bahasa, dapat kita ketahui bahwa dalam penciptaan dan peletakan sebuah syari’at terhadap makhluk-Nya, tentu memiliki sebuah tujuan yang diinginkan oleh Syari’. Sebagaimana pemberian taklif bagi setiap muslim tentulah memiliki tujuan, yaitu untuk menjaga ataupun memelihara kemaslahatan muslim itu sendiri. Dan kemaslahatan atau maqosid ini sencakup tiga macam :

I. Masholih Dhoruriyah (primer)
Masholih dhoruriyah adalah sebuah kemaslahatan yang harus terpenuhi oleh umat. Sehingga apabila maslahat ini terabaikan akan mengakibatkan stabilitas kehidupan maupun agama menjadi rusak bahkan hilang.
Bentuk kemaslahatan bagi manusia yang merupkan maqoshid syari’ah adalah sebuah penjagan ataupun pemeliharaan terhadap manusia itu sendiri. Dan penjagaan itu juga meliputi dua hal :

a. Melaksanakan semua perintah syari’at disertai dengan keyakinan.
Seperti : memunaikan sholat, berpuasa, zakat dll.
b. Meninggalkan semua larangan syari’at serta meyakininya.
Seperti : larangan membunuh orang lain, larangan mencuri dll .

Perintah dan larangan tersebut masing – masing diwajibkan guna kemaslahatan bagi manusia itu sendiri.

Dalam masholih dhoruriyah terdapat lima bagian yang kemjudian sering disebut dengan “kuliyyat khomsah” atau ”maqosid khomsah” , yaitu : hifdzu ad Din, hifdzu an Nafs, hifdzu al ‘uqul, hifdzu al Amwal, dan hifdzu al Ansab.

Hifdzu ad Din
Yang dimaksud dengan hifdzu ad Din adalah menjaga agama setiap muslim dari segala macam ancaman yang dapat merusak i’tiqodnya. Menjalankan semua perintahnya dan meninggalkan segala larangannya. Dengan adanya penjagaan terhadap setiap individu seorang muslim akan menjadikan kemaslahatan agama secara umum.
Bentuk – bentuk hifdzu ad Din tercermin dalam ibadah seperti : Syahadat, solat, zakat, puasa, haji, jihad mempertahankan eksistensi agama dll.

Hifdzu an Nafs
Yang dimaksud dengan hifdzu an Nafs adalah menjaga ruh setiap individu maupun secara umum. Menjaga ruh secara umum adalah menjaga alam semesta ini. Karena alam sersusun dari kumpulan individu – individu yang memiliki peran masing – masing dalam menjaga kelestarian alam. Begitu juga sebaliknya, dengan stabilitas alam yang baik akan menjadikan individu – individu di dalamnya aman dan terpelihara.

Sedangkan hukum qishash bukan merupakan bentuk hifdzu an Nafs yang diinginkan oleh syara’. Akan tetapi itu adalah bentuk Hifdzu an Nafs yang paling lemah. Karena hukum qishash terjadi setelah adanya kerusakan yang terjadi diantara manusia. maka yang seharusnya menjadi perhatian adalah menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang mengakibatkan hukum qishash. Sebagaimana mencegah penyakit menular dan memberantasnya. Sahabat Umar bin al Khottob telah melarang tentaranya untuk memasuki kota Syam agar terhindar dari wabah penyakit . Dan termasuk dalam maslahat hifdzu an Nafs adalah menjaga anggota badan dari kerusakan.

Hifdzu al ‘Uqul
Yang dimaksud dengan hifdzu al ‘Uqul adalah menjaga akal manusia dari segala macam hal yang dapat merusaknya atau yang menyebabkan cacat. Jika akal manusia rusak, perilaku manusiapun akan menjadi rusak.
Dengan demikian haruslah ada larangan mengkonsumsi hal - hal yang dapat merusak akal, seperti khomr, ciu, pil ekstasi, kokain dan lain sebagainya .

Hifdzu al Mal
Yang dimaksud dengan hifdzu al Mal adalah menjaga harta dari kerusakan dan berpindah tangan kepada orang lain tanpa ganti. Bentuk penjagaan terhadap harta ini tercermin dalam mu’amalah. Seperti: larangan mencuri, merusak harta orang lain, larangan riba dll.

Hifdzu an Nasab
Dan disebut juga oleh sebagian ulama’ dengan hifdzu an Nasal. Jika yang dimaksud hifdzu an Nasab adalah menjaga kesinambungan reproduksi manusia, maka itu adalah termasuk dhoruri. Karena jika kegiatan reproduksi bukan merupakan kewajiban, maka akan terjadi hilangnya generasi penerus daripada manusia.

Sebagaimana yang dikatakan nabi Luth a.s.
قال تعالى : وتقطعون السبيل


Maka bagi laki – laki wajib untuk menjaga alat reproduksinya demi menjaga kelangsungan reproduksi manusia. Begitu pula bagi perempuan untuk menjaganya. Termasuk bagi perempuan dilarang untuk menghilangkan asi ataupun “tempatnya”, karena jika itu dihilangkan akan menjadikan bayi mereka kelaparan bahkan terancam kesempatan hidupnya. Maka itu juga termasuk dalam hifdzu an Nasab.
Dan apabila yang dimaksud dengan hifdzu an Nasab adalah menyambungkan nasab kepada asalnya (bapak, kakek) yang bertujuan untuk menjaga kesempurnaan nikah, maka itu pada dasarnya bukanlah termasuk dalam maslahat dhoruriyah. Dan bentuk hifdzu an Nasab yang semacam ini termasuk dalam maslahat sekunder.

Akan tetapi jika hal ini (hifdzu an Nasab) terabaikan bahkan tidak menjaganya secara keseluruhan, maka akan mengakibatkan madhorot yang besar sehingga akan menjadi maslahat dhoruriyah. Yangmana hal itu untuk memperketat keabsahan dalam masalah pernikahan .
Sedangkan hifdzu al ‘Irdh menurut Ibn ‘Asyur bukan termasuk dalam maslahat dhoruriyah. Akan tetapi masuk dalam maslahat hajiyat. Sedangkan beberapa ulama’ yang menyatakan bahwa hifdzu al ‘Irdh masuk dalam maslahat dhoruriyat adalah Taju ad Din as Subki dalam kitab Jam’u al Jawami’.

II. Masholih Hajiyyat
Yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh umat untuk mempermudah beban hidup dan menghilangkannya. Dan jika hal ini terabaikan, maka umat akan benar – benar merasakan beban dalam hidup namun tidak sampai pada masolih dhoruriyyah. Seperti dalam ibadah: sebuah rukhshoh bagi orang yang sakit maupun orang yang dalam perjalanan dll. Dalam mu’amalah : jual beli, hutang piutang dll. Dan beberapa hukum mu’amalah yang asalnya mubah seperti nikah dan menyambungkan nasab kepada asalnya termasuk juga dalam maslahat hajiyat.

Dan hifdzu al A’radh (menjaga kehormatan) juga termasuk dalam katagori ini. Bentuk hifdzu al A’radh yaitu menghindarkan umat dari sifat menyakiti orang lain dengan mulut. Seperti: mengejek, menghina, memaki dan lain sebagainya.
Termasuk juga dalam katagori ini adalah sesuatu yang sifatnya sebagai saddu dzara’i’ al fasad atau tindak prefentif. Seperti dibentunya tim pengawas dalam suatu struktur organisasi, polisi pengawas syari’ah dll.

III. Masholih Tahsiniyyat
Yaitu sesuatu yang diambil oleh sebagai penyempurna ataupun penghias. Seperti adat yang baik ; berpakaian rapi (satrul ‘aurot), memakai perhiasan, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan ibadah – ibadah sunnah, adab makan dan minum yang baik, menghindari tempat – tempat yang kotor, menghindari isrof dll.
Imam al Ghozali berkata : “maslahat tahsiniyat adalah sesuatu yang diambil sebagai penghias, mempermudah, menjaga sistem – sistem mu’amalat dan adat yang bagus .

Ketiga maslahat diatas merupakan pembagian yang merujuk pada hukum – hukum yang tertuliskan dalam syara’. Dari maslahat yang disyari’atkan bagi umat untuk melakukan sesuatu maupun untuk meninggalkan perbuatan tertentu.
Dengan berjalannya waktu serta meluasnya dunia islam, tentulah banyak masalah – masalah maupun kejadian yang bermunculan dimana hukum masalah tersebut tidak terdapat dalam nas secara sharih. Maka, salah satu tujuan pemahaman maqoshid secara umum itu adalah agar bisa menentukan hukum masalah – masalah tersebut dengan bersandarkan maqosid syari’ah. Atau yang kita kenal dengan maslahah mursalah.
Maslahat mursalah adalah suatu dalil hukum untuk menentukan permasalahan – permasalahan baru yang tidak muncul pada zaman diturunkannya syari’ah. Maka bagi para ulama khususnya pada masa sekarang ini hendaknya tahu tentang hal dasar hukum ini. Sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan – permasalahan yang muncul saat ini. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa sahabat rosul seperti Abu Bakar as Siddiq yang menulis dan membukukan al qur’an pertama kali. Sahabat utsman bin affan yang menjadikan mushaf dalam satu bentuk penulisan saja, sebagaimana yang kita kenal dengan rosm utsmani.

Dasar hukum maqoshid khomsah
Imam as Syathibi berkata : ilmu dhoruriyat ini menjadi qath’i walaupun tidak titetapkan dengan dalil tertentu. Akan tetapi ilmu itu diketahui dengan beberapa dalil pendukung. Dalil pendukung itu adalah hukum – hukum yang terinci dalam alqur’an. Sepeti wajibnya sholat, zakat, puasa, larangan membunuh, larangan mencuri, larangan berzina dll.
Sebagian ulama juga menetapkan bahwa maqoshid khomsah itu merujuk pada ayat :
بأيها النبىّ اذا جاءك المؤمنات يبايعنك على ان لايشركن بالله شيئا ولايسرقن ولايزنين ولايقتلن أولادهن ولايأتين ببهتان يفترينه بين أيديهن وأرجلهن .
Penutup
Demikian sedikit ulasan tentang maqoshid khomsah yang dapat penulis paparkan. Dengan keterbatasan keilmuan yang penulis miliki, Jelas bahwa makalah ini jauh dari pencakupan ilmu maqoshid itu sendiri. Maka dengan ini penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan meminta kesediaanya bagi pembaca untuk turut mengoreksi baik dari segi isi maupun penulisan demi penuju ke arah perbaikan. Dan semoga dengan makalah yang singkat ini bisa diambil manfaatnya. Amin.



Read More...... Read more...

Sabtu, 13 Maret 2010

Bid’ah tercela dan Bid’ah Terpuji

Apakah Bid’ah itu?

عن امّ المؤمنين امّ عبدالله عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم : من احدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ. رواه البخا رى ومسلم. وفى رواية لمسلم : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ

Hadits ini merupakan salah satu pokok pegangan daripada agama Islam. Sebagaimana hadits “Innamal a’maalu biNniyyat….” Merupakan hadits pokok yang menjadi pertimbangan di dalam hati. Bahwa setiap amal yang tidak semata mata untuk Allah SWT, maka bagi orang yang melakukannya tidak akan mendapat apapun.
Sebagaimana juga hadits ini, yang menjadikan pertimbangan di dalam amal secara dzohirnya. Bahwa setiap amal yang yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya, maka amal itu akan ditolak. Dan barang siapa membuat hal yang baru (ibadah maupun mu’amalah) di dalam agama yang tidak diperbolehkan oleh Allah dan Rosul-Nya, maka orang itu tidak akan mendapatkan apapun dalam agama.

Imam Nawawi berkata : seyogyanya hadits ini dihafalkan dan di amalkan sebagaimana untuk menghindarkan dari kemungkaran.

Ibnu Hajar al Haitami juga berkata : hadits ini adalah salah satu kaidah dari beberapa kaidah Islam. Dan pengambilan hukum dari lafalnya juga sangat bermanfaat, karena hadits ini merupakan pendahuluan yang bersifat global pada setiap dalil yang mana hukum syar’i diambil dari dalil ini.

Segi Bahasa

Man ahdasa : berma’na “ansya’a” dan “ikhtaro’a” yaitu membuat buat atau menciptakan dari dirinya sendiri dan nafsunya.

Fi amrina : bermaknya di dalam agama dan dalam syari’at yang diridhoi Allah SWT.

Ma laisa minhu : bermakna sesuatu yang menafikan atau menentang. Serta sesuatu yang tidak didasarkan kepada kaidah dan dalil secara global.

Fahua roddun : ditolak amalnya, dan harus tidak dibiasakan.

Keterangan Tentang hadits

1. Islam adalah agama ketaatan bukan agama bid’ah

Nabi Muhammad SAW. Telah menjaga agama islam dari orang orang yang berlebihan / melewati batas dan orang – orang yang suka merubah hukum dengan hadits ini, yang mana telah mencakup semua hal tersebut. Hadits ini juga sesuai dengan ayat al qur’anyang menenrangkan bahwa keselamaan dan keberuntungan adalah bagi orang yang selalu ikut hidayah Nabi Muhammad SAW. Tidak lebih dan tidak kurang. Seperti yang termaktub dalam al Qur’an :

قل ان كنتم تحبّون الله فاتّبعونى يحببكم الله. ال عمران :
وانّ هذا صراطى مستقيما فاتّبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرّق بكم عن سبيله ذلكم وصّيكم به لعلّكم تتقون.

Dan diriwayatkan dari Muslim dalam kitabnya bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda di dalam khuthbahnya :
خيرالحديث كتاب الله, وخير الهدى هدى محمّد صلى الله عليه وسلّم , وشرّالامور محدثاتها, وكل محدثة بدعة وكلّ بدعة ضلالة.
ورواه البيهاقى وفيه زيادة : وكلّ ضلالة فى النّار.

2. Amal yang ditolak

Dan hadits ini telah menyebutkan dengan jelas bahwa perbuatan ibadah yang tidak ada dasarnya dari as Sari’ adalah ditolak. Sedangkan secara lafadz pada hadits ini menyatakan atas taqyiid amal (keterikatan amal) dengan hukum – hukum syari’at. Sedangkan cara penghukumannya adalah mengikuti apa yang termaktub dalam al Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Meliputi perintah dan larangannya. Merupakan sebuah kesesatan yang sangat sesat yaitu melakukan perbuatan ibadah yang keluar dari bingkai ajaran islam. Serta menjadikan ushul syari’at yang menyesuaikan kepada amal, bukan sebaliknya. Maka dari sebagian kewajiban setiap muslim adalah menyatakan bahwa perbuatan seperti yang disebutkan diatas adalah perbuatan yang ditolak oleh Syari’. Dalam hal ini yang dimaksud perbuatan yang ditolak meliputi dua bagian, ibadah dan mu’amalah:

• Yang pertama : ibadah
Jadi setiap ibadah yang keluar dari ajaran dan hukum Allah dan Rosul-Nya adalah ditolak. Dan ini diambil dari ayat al Qur’an :

ام لهم شركؤا شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله .
Dan sebagian contoh dari perbuatan ini adalah mendekatkan diri kepada Allah melalui jalan mendengarkan nyanyian – nyanyian , atau tarian/joget, atau mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan melihat wajah wanita yang bukan mahromnya dan lain sebagainya.oarng orang yang melakukan hal ini semua adalah termasuk orang orang yang telah dibutakan oleh Allah alat penglihatannya kepada jalan yang haq. Dan mengikuti setan yang menyangka bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dengan apa yang mereka perbuat ( mendengarkan nyanyian, menari dll) dari perbuatan yang sesat. Maka jika demikian, kebatilan mereka sama dengan kebatilan orang musyrik arab zaman dahulu yang membuat – buat perlakuan ibadah sesuai dengan hawa nafsunya. Allah SWT berfirman :”salat mereka di sekitar baitulloh itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab yang disebabkan kekafiranmu itu”(al Anfal : 35).

Terkadang sebagian dari mereka menyangka bahwa bentuk pendekatan diri kepada Allah mencakup pada semua perbuatan secara mutlak. Sebagai contoh : apa yang dilakukan seorang laki laki yang bernadzar dimasa Nabi Muhammad SAW. Laki laki itu berdiri di bawah terik matahari, tidak duduk dan tidak berteduh dalam keadaan puasa. Maka Nabi SAW. Memerintahkannya agar dia duduk, berteduh dan meneruskan puasanya.
Dan secara detail pemabahasan ini, dijelaskan dalam buku buku fiqih.

• Yang kedua : mu’amalah
Amal yang ditolak dalam hal ini seperti akad dan faskh. Jadi segala macam akad yang secara umum menafikan hukum syar’i adalah ditolak. Dalilnya sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi SAW. Seorang penananya datang kepada Nabi SAW. Dia menginginkan perubahan had zina (hukum cambuk bagi pezina) yang telah ditetapkan oleh alQur’an dengan tebusan harta dan perhiasan. Maka Nabi SAW pun menolaknya seketika itu dan membatalkan masalah tersebut. diriwayatkan dari Bukhori dan Muslim bahwa Rosululloh SAW didatangi seorang penanya, ia berkata : sesungguhnya anakku adalah orang yang lalim dan sewenang wenang kepada fulan, lalu ia berbuat zina kepada istri Si fulan. Maka aku telah menebusnya dengan seratus kambing dan seratus pembantu. Maka Nabi SAW menjawabnya : seratus kambing dan seratus pembantu semuanya ditolak. Dan untuk anakmu dikenai cambuk seratus kali serta diasingkan selama satu tahun.
Dan begitu juga macam macam akad yang dilarang oleh islam, atau dengan rusaknya salah satu rukun maupun sarat akad antara kedua orang yang bertransaksi, maka akadnya adalah ditolak ataupun tidak sah.

3. Amal yang diterima

Yang termasuk amal yang diterima meliputi perbuatan dan perkara yang baru (yang belum ada pada zaman Nabi SAW). Namun itu tidak menafikan hukum syar’i bahkan selaras dengan dalil dan kaidah secara global . amal yang seperti ini bukan termasuk amal yng ditolak, akan tetapi diterima dan terpuji. Para sahabat r.a. telah banyak melakukan hal hal yang tidak dilakukan Nabi SAW. Dan memperbolehkannya. Mereka bersepakat atas itu semua.

Sebagai contoh : pengumpulan ayat ayat alqur’an pada masa Abu Bakar as Shiddiq r.a. dalam bentuk satu mushaf. Dan penulisan al qur’an dalam bentuk buku serta disebarkan ke penjuru masyarakat muslim pada masa Utsman bin Affan. Sebagaimana penulisan serta pembukuan ilmu pengetahuan seperti ilmu nahwu, ilmu tenteng waruisan, tafsir dan lain sebagainya yang merupakan ilmu teori sebagai penyangga dan penjaga sumber sumber syari’at. Begitu juga ilmu ilmu yang bersifat eksperimen sebagai penopang kebutuhan hidup manusia seperti menghimpun kekuatan, pembangunan gedung, sehingga memungkinkan untuk menjalankan syi’ar islam.

4. Bid’ah Tercela dan Bid’ah Terpuji

Setelah membicarakan amal yang diterima dan yang tidak dterima/ditolak, maka bisa ditarik benang merah dalam permasalahan ini. Yaitu bahwa amalan baru yang dilakukan dan bertentangan dengan syari’at Allah dan Rosulnya, maka itu adalah bid’ah sayyi’ah. Kemudian jika amalan itu tidak bertentangan dengan syari’at islam atau sesuai dengan syari’at islam, maka amal tersebut diterima dan disebut sebagai amal yang terpuji.
Yang dianaranya ada yang mandub (nama lain dari sunnah), dan ada juga yang merupakan ardhu kifayah.

Maka Imam as Syafi’i berkata : sesuatu yang baru(tidak dilakukan pada zaman Nabi SAW) serta tidak sesuai dengan al Qur’an, sunnah, ijma’, serta atsar, maka itu adalah bid’ah dholalah(bid’ah yang sesat). Dan jika hal baru itu bagus, dan sesuai dengan al Qur’an, sunnah, ijma’ serta atsar, maka maka itu adalah bid’ah mahmudah(terpuji).

Bid’ah yang tercela bisa jadi hukumnya makruh, bisa juga hukumnya haram. Tergantung tingkat kerusakan yang dihasilkan dari bid’ah tersebut yang melenceng dari ajaran islam. Terkadang orang yang melakukan bid’ah ini menjadi kafir dan sesat seperti berafiliasi dengan yayasan ataupun kelompok yang mengingkari wahyu Allah dan yang mengingkari syari’at Allah SWT. Atau mengajak dan mendorong untuk menerapkan hukum wadh’i yang meyakini bahwa syari’at adalah hukum yang lemah. Seperti berafiliasi dengan jama’ah tasawwuf, dan menghalalkan dalam menunda – nunda kewajiban syar’i, serta berlebih – lebihan hingga melampoi batas, semisal menghalalkan apa yang diharamkan oleh syar’i atau sebaliknya. Juga mengaku sebagai jelmaan tuhan dan penyatuan jiwa dengan tuhan. Dan lain sebagainya dari beberapa perlakuan yang sesat dan kufur.

Dan termasuk daripada bid’ah yang sesat yaitu, mengagungkan sesuatu dan minta barokah kepada sesuatu tersebut. Termasuk juga meyakini bahwa sesuatu itu memberi manfaat kepada manusia, seperti mengagungkan manusia, mengagungkan pohon atau mengagungkan pekuburan.

5. Faidah : hadits riwayat Muslim ;
من عمل عملا ليس عليه امرنا فهو رد

6. Hadits ini juga menunjukkan bahwa seseorang yang melakukan bid’ah yang tidak sesuai dengan syari’at maka akan mendapat dosa dan amalnya akan ditolak serta mendapatkan ancaman di hari pembalasan.

7. Bahwa sesuatu yang dilarang, pasti mengakibatkan kerusakan/madhorot.

8. Dan yang terakhir, bahwa islam adalah agama yang sempurna tanpa ada kekurangan di dalamnya. Takbir ....!!!


Read More...... Read more...

Jumat, 12 Maret 2010

Imam Abu Hanifah

Madzhab hanafi adalah madzhab yang paling awal munculnya dibanding tiga madzhab besar lainnya. Madzhab Hanafi dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah an Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah tahun 80 H. dan wafat di Baghdad pada tahun 150 H.

Imam Abu Hanifah termasuk sebagai tabi’in, karena beliau sempat bertemu dengan sahabat Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad as Sa’idi dan Abu Thufail ‘Amir bin Wa’ilah. Dan Imam Abu Hanifah juga meriwayatkan beberapa hadits dari mereka. Sebagaimana bapak beliau, Tsabit, yang bertemu dengan Khalifah Ali bin Abi Tholib r.a. yang kemudian mendo’akan agar mendapat barakah dalam keluarganya.

Imam Abu Hanifah hidup dalam keluarga pedagang di Kufah. Yaitu pedagang kain Khozz (salah satu jenis sutera). keluarga Imam Abu Hanifah juga telah menyerukan agama islam setelah bapaknya (Tsabit) bertemu dengan Imam Ali r.a.

Pada mulanya Imam Abu Hanifah berkonsentrasi untuk menghafal al qur’an seperti yang dilakukan para memeluk agama islam masa itu. Setelah selesai menghafal al qur’an, kemudian beliau mempelajari sunnah dan juga mempelajari ilmu nahwu, adab, sya’ir dan mendiskusikan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masalah i’tiqodiyyah. Imam Abu Hanifah juga pergi ke Bashroh untuk melakukan diskusi ini. Dan terkadang menetap di sana demi melakukan diskusi dalam waktu yang lama. Lalu setelah itu, Imam Abu Hanifah mulai mempelajari ilmu fiqih.

Sesuai keterangan di atas, bahwa Imam Abu Hanifah mulai dari kecil telah melakukan kegiatan perdagangan hasil waris dari keluarganya. Maka beliau meneruskan keterampilan keluarganya itu sebagai sumber penghidupan. Sehigga kebanyakan beliau menghabiskan waktunya dalam kegiatan mua’amalah. Dengan ini maka beliau mendapat banyak pengalaman dan pengetahuan dalam masalah mu’amalah.

Kedekatan Imam Abu Hanifah kepada Ulama’

Imam Abu Hanifah merupakan sosok seorang yang sangat cerdas, cekatan, memiliki kecerdasan manthiq yang bagus sehingga para ulama waktu itu sangat menghargainya dan menganjurkan berguru kepadanya. Dalam salah satu riwayat dari Imam, beliau berkata: “ suatu hari aku berjalan melintasi depan as Sya’bi, Dia duduk lalu memanggil dan berkata kepadaku :”mau pergi kepada siapa?” Aku menjawab :” saya mau pergi ke pasar”. Dia berkata :”maksud saya bukan pergi ke pasar, melainkan mau pergi kepada ulama’ “. Maka saya berkata :” saya sedikit sekali berbaur dengan para ulama’”. Dia berkata kepadaku lagi:” jangan lupa bahwa kewajibanmu adalah belajar ilmu dan mendatangi majlis para ulama’. Sesungguhnya aku melihat semangat kewaspadaan dan keterampilan ada dalam dirimu”.Imam Abu Hanifah berkata:” perkatannya telah masuk di dalam hatiku. Maka aku menangguhkan pergi ke pasar dan berpaling kepada ilmu. Maka Allah SWT memberikan manfaat kepadaku melalui perkataan itu”.

Imam Abu Hanifah benar-benar cerdas dan pandai dalam ilmu kalam dan berkecimpung dalam ilmu ini. Sehingga beliau memiliki pendapat-pendapat yang dirangkum dalam berbagai kitab mengenai ilmu ini. Namun setelah itu, beliau kembali berpikir dan meninggalkan dunia ilmu kalam untuk berpaling ke dalam ilmu fiqih. Hal ini karena beliau mengikuti para Sahabat radhiyallohu ‘anhum, yang mana mereka berkecimpung dalam masalah fiqih dan tidak masuk pada dunia ilmu kalam. Padalah para sahabat mempunyai kapasitas keilmuan yang sangat tinggi dan tahu hakikat dari semua perkara. Dan karena ilmu fiqih merupakan ilmu yang mencakup permasalahan dunia dan akhirat.

Imam Abu Hanifah juga berusaha keras dalam mendalami ilmu fiqih khususnya pada empat macam fiqih yaitu : fiqihnya ‘Umar bin Khottob yang terangkum dalam kemashlahatan, fiqihnya Ali bin Abi Tholib yang terangkum dalam masalah istimbath dan hakikat dari syari’ah, ilmu Abdullah bin Mas’ud yang terangkum dalam Takhrij, dan ilmu Abdullah bin Abbas yaitu ilmu al qur’an dan pemahamannya.

Abu Ja’far yang telah sampai pada tingkatan ulama’ besar pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :” wahai Nu’man dari siapa kamu mengambil ilmu? Abu Hanifah menjawab :” dari pengikut Umar bin Khottob dari Umar bin Khottob, dari pengikut Ali dari Ali, dari pengikut Abdulloh bin Mas’ud dari Abdulloh bin Mas’ud, dan dari pengikut Ibnu Abas dari Ibnu Abbas”.

Masyayikh Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah memiliki beberapa guru besar yang menjadikan Imam Abu Hanifah sebagai ulama’ besar, menjadi seorang Faqih handal, dam mengetahui solusi permasalahan secara mendetail.

Waktu itu Kufah benar-benar menjadi sebuah kota yng memiliki banyak ulama’ besar. Diantaranya Hamad bin Abi Sulaiman dinama merupakan guru Imam Abu Hanifah yang pertama di dalam ilmu fiqih. Imam Abu Hanifah belajar darinya tentang segala macam ilmu fiqih dan metodenya. Abu Hanifah berguru kepadanya selama kurang lebih 18 tahun sehingga pada suatu hari Hamad bin Abi Sulaiman pun bertanya kepada Imam Abu Hanifah :”apakah kamu ingin melampoiku wahai Abu Hanifah?”. Ini merupakan sindiran bagi Abu Hanifah yang begitu lama mengambil ilmu darinya.

Sedangkan Hamad bin Abi Sulaiman berguru kepada Ibrahim an Nakh’i. Dan Ibrahim an Nakh’i berguru kepada ‘Alqomah an Nakh’i yang berguru kepada Abdulloh bin Mas’ud seorang sahabat yang terkenal dengan ilmu fiqih dan pendapatnya yang banyak. Imam Abu Hanifah juga berguru kepada beberapa ulama’ tabi’in seperti Atho’ bin Abi Robah, dan Nafi’ Maula Abdulloh bin Umar. Dan Imam Abu Hanifah juga menyiapkan waktu khusus ketika haji untuk bertemu dan berdiskusi dengan para ulama’ Hijaz yang mana menambah khazanah keilmuan dan belajar pula thariqah para fuqoha’.

Imam Abu Hanifah sendiri tidak memiliki karangan khusus. Namun Imam memiliki murid-murid seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan Zufar bin al Huzail yang mana mereka menjadi ulama besar yang menyebarkan ajaran-ajaran madzhab Imam Abu Hanifah. Sehingga madzhab Imam Abu Hanifah ini menjadi salah satu madzhab besar dan paling awal munculnya dibanding tiga madzhab lainnya, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali.Dan madzhab ini meluas ke suluruh penjuru dunia.



Read More...... Read more...

Pengantar Ilmu Ushul Fiqh

Khitob Allah SWT pada hakikatnya bukan hanya Al qur’an dan Sunnah saja. Melainkan meliputi Ijma’ dan Qiyas. Sangat jelas bahwa Al qur’an adalah kalam Allah secara lafadz maupun makna. Dan Sunnah termasuk juga wahyu Allah secara makna, dan lafadznya berasal dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Maka kedua ini disebut sebagai wahyu al Matlu dan wahyu Ghoiru Matlu.

Sedangkan Ijma’, Nabi Muhammah SAW berkata :” umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan”. Hadis ini merupakan dalil Ijma’. Dan qiyas merupakan sumber hukum Islam yang dihasilkan dari sebuah proses ijtihad. Pada dasarnya keduanya(Ijma’ dan qiyas) sama-sama dihasilkan melalui proses ijtihad. Bedanya, jika Ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahidin, sedangkan qiyas bisa dilakukan oleh seorang mujtahid.
Lalu ada sebuah pertanyaan,”mengapa qiyas termasuk khitob Allah, padahal qiyas dihasilkan dari ijtihad yang memungkinkan terjadi kesalahan?

Memang qiyas dihasilkan dari sebuah ijtihad. Jika ijtihad itu benar, maka itu termasuk hukum Allah. Dan jika ijtihad itu salah, maka tidak dianggap sebagai hukum Allah SWT. Karena Allah SWT terbebas dari pada kesalahan.

Dengan ini, jelas sangat dibutuhkan sebuah kemampuan yang baik dalam melakukan sebuah ijtihad, beristimbat hukum dari sumber-sumbernya. Karena jika kemampuan tersebut tidak dimiliki dalam diri sebagian manusia, akan berakibat terjadi banyak permasalahan yang muncul tentang keagamaan, karena ijtihad adalah titik penghubung antara khithab Allah dan umat-Nya.

Ilmu yang mempelajari bagaimana metode serta cara mengambil hukun dari sumbernya, bagaimana menjadi seorang mujtahid yang memiliki kababilitas yang baik, dan bagaimana menggali sebuah hukum sebagai solusi qhodhiyah mu’ashiroh yang muncul? Semua itu terangkum dalam disiplin ilmu yang disebut dengan Ushul Fiqih. Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba memaparkan mabadi’ ilmu ushul fiqih, yang selengkapnya sebagai berikut!

Pengertian Ilmu Ushul Fiqih

Pengertian ushul fiqih dapat dibagi menjadi dua. Ushul fiqih secara susunan idhofi, dan ushul fiqih sebagai ‘alam yaitu ilmu yang berdiri sebagai disiplin ilmu tersendiri atau laqoby.
Ushul fiqih secara susunan idhofi
Dikatakan sebagai susunan idhofi, karena ushul dan fiqih jika dipisahkan memiliki arti masing-masing. Maka penulis mencoba menguraikan arti ushul dan arti fiqih.
a. Ushul merupakan jama’ dari kata al Ashlu, yang secara bahasa berarti :
ما يِِِبتنى عليه غيره

Sedangkan secara istilah al Ashlu memiliki beberapa arti, diantaranya :
الصورة المقيس عليها
Suatu asal hukum yang terdapat dalam Al qur’an. Contoh : khomr

الرجحان
Sesuatu yang dibenarkan. Contoh : al ashlu fi al kalam al haqiqoh.
القاعدة المستمرّة
Sebuah qaidah yang terus menerus (tetap). Contoh : ibahatul maitah lil mudhthorri ‘ala khilafi adz dzohir.
الشيء المستصحب
Yaitu tetapnya sebuah hukum seperti yang telah ada. Contoh : al ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana.
الدليل
Yaitu sebagai dalil landasan suatu hukum (sumber hukum). Contoh : Al qur’an, Sunnah.

b. Al fiqhu, secara bahasa berarti al ilmu dan al fahmu . Sedangkan secara istilah :
العلم بالاحكام الشرعيّة العمليّة المكتسب من أدلّتها التفصيليّة
Keterangan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.

Ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu yang tersendiri. Atau yang sering disebut dengan makna Laqobi.
Ada beberapa pengertian tentang ushul fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu. Diantaranya :
Al Imam ar Rozy :
مجموع طرق الفقه على سبيل الاجمال وكيفية الاستدلال بها وكيفية حال المستدل بها.
Imam al Baidhowi :
معرفة دلالة الفقه اجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفد
Ibnu Hajib :
العلم بالقواعد التى يتوصل بها الى استنباط الاحكام الشرعيّة الفرعيّة من أدلّتها التفصيليّة.
Objek Pembahasan Ushul Fiqih
Menurut para ahli manthiq, bahwa objek setiap ilmu adalah segala hal yang dibahas di dalamnya. Hal disini terdiri dari sesuatu yang fitrah untuk menjadi pembahasan, bagian dan lain sebagainya. Maka objek pembahasan ushul fiqih sesuai dengan pendapat para ulama’, hanya berkisar antara ad Dalil al Kulli dan al Hukmu al kulli.
Ad dalil al kulli adalah bentuk-bentuk umum dari pada dalil-dalil yang terdiri dibawahnya berbagai dalil juz’i seperti al ‘amru, an nahyu, al ‘am, al muthlaq, al Ijma’ as shorikh dan al Ijma’ sukuti. Sedangkan al hukmu al kulli adalah bentuk-bentuk hukum yang bersifat umum dimana terdiri dibawahnya beberapa hukum juz’i. Seperti ijab, tahrim, mandub, shihhah, buthlan dan lain sebagainya.
Selain itu, dalam muqoddimah kitab Nihayatussul karangan Al Isnawi, diterangkan tentang pembahasan dalam ilmu ushul fiqih meliputi tiga hal yang sesuai dengan devinisi dari Imam al Baidhowi, yaitu :
Mengetahui dalil-dalil syar’i secara global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil tersebut, dan mengetahui sifat serta syarat-syarat seorang mujtahid.
Catatan : pada dasarnya objek pembahasan ushul fiqih kesemuanya itu, tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Sedangkan objek pembahasan ilmu fiqih adalah fi’lul mukallaf.
Al Ghoyah al Maqshudah/ Tujuan dari pada Ushul Fiqih
Tujuan adanya ilmu ushul fiqih sesuai kesepakatan para ulama’ adalah penerapan qaidah dan teori-teori atas dalil-dalil yang detail(tafshil) agar sampai kepada hukum-hukum yang menunjukkannya.
Catatan : sedangkan tujuan dari ilmu fiqih adalah penerapan hukum-hukum syar’i terhadap perbuatan manusia.

Istimdad Ilmu Ushul Fiqih

Para ulama’ ushul menyebutkan bahwa istimdad ilmu ushul fiqih ada tiga hal. Diantaranya, ilmu kalam, ilmu bahasa arab dan ahkam syar’iyyah.

Ilmu kalam
Hubungannya yaitu sebelum kita lebih jauh mempelajari ilmu ushul fiqih ataupun ilmu yang lain, maka kita hendaklah memiliki aqidah yang lurus, mengimani Allah SWT beserta sifat-sifatnya. Dan meyakini kebenaran rosul-Nya sebagai penyampai risalah Ilahiyyah.

Bahasa Arab
Hubungannya bahwa bahasa arab adalah bahasa Al qur’an yang merupakan sumber hukum nomer satu. Dan semua hal pembahasan ilmu ushul fiqih pada dasarnya diambil dari Al qur’an. Maka, bahasa arab ini sangat penting kedudukanya dalam mempelajari ilmu ushul fiqih.

Al Ahkam as Syar’iyyah
Keterkaitan antara ushul fiqih dengan ahkam syar’iyyah yaitu sebelum kita mengetahui maudhu’ ilmu ushul fiqih, hendaknya kita memiliki tashowwur atau gambaran mengenai bagaimana hukum syar’i dan pembagiannya.

Hukum Mempelajari Ilmu Ushul Fiqih

Meminjam kata-kata dari makalah KAJIAN REGULER MISYKATI yang ditulis oleh ust. Munafidzu Ahkamirrohman, Lc. Yang sesuai dalam buku Al Hukm al Syar’i ‘inda al Ushuliyyin, karangan Dr. Ali Jum’ah. Bahwa hukum mempelajari ilmu ushul fiqih adalah wajib kifayah.

Kemunculan dan Perkembangan Ilmu Ushul Fiqih

Ushul fiqih ada semenjak adanya fiqih. Maka kapan pun fiqih itu muncul, ushul fiqih pun disana ada. Karena ushul fiqih adalah rangkuman qaidah dan kriteria sebagai patokan fiqih. Hal tersebut adalah termasuk komponen utama dalam ushul. Akan tetapi fiqih lebih dahulu dibukukan dari pada ushul fiqih, walaupun keberadaannya bersamaan dengan fiqih. Dalam artian, fiqih telah dibukukan, permasalahan, qaidah dan bab-bab fiqih telah ada sebelum dibukukannya ilmu ushul fiqih.

Hal ini bukan berarti ilmu ushul fiqih baru muncul setelah dibukukannya ilmu ini. Atau bahwa para ulama’ belum mempunyai sebuah qaidah, kriteria ushul dalam menentukan hukum fiqih. Namun yang terjadi adalah bahwa para ulama’ mulai dari sahabat Nabi SAW telah memiliki kemampuan pengambilan hukum sesuai dengan kriteria ini. Mereka waktu itu sama sekali tidak membutuhkan kriteria ini. Dengan kebersamaan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, menjadikan mereka memiliki kemampuan yang luar biasa dalam masalah pengambilan hukum.
Sebagaimana biasanya bahwa sesuatu yang ada maka dibukukan. Dan pembukuan adalah sebagai bukti adanya sesuatu itu, bukan tanda awal munculnya sesuatu. Sebagi contoh, dalam ilmu bahasa.

Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW adalah penyampai wahyu dari Allah SWT kepada hamba-Nya. Maka pada masa ini belum membutuhkan ushul fiqih. Karena Nabi Muhammad SAW sebagai marja’ bagi para sahabat ketika mendapati sebuah permasalahan. Maka waktu itu tidak ada ijtihad. Jika tidak ada ijtihad, maka tidaklah membutuhkan istimbat hukum dan qaidah.

Masa Sahabat

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW terjadilah berbagai persoalan keagamaan, yang memaksa para sahabat untuk melakukan pengambilan hukum dari sumbernya atau yang kita sebut dengan ijtihad. Namun para sahabat belum membutuhkan sebuah kriteria ijtihad, dan tatacara beristimbat. Karena para sahabat memiliki kemampuan yang sangat baik dalam pengambilan hukum dari sumbernya. Hal ini terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya, kebersamaan para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW sehingga mereka kebanyakan mengetahui Asbabu an Nuzul, wurudu al Hadits, ‘illatu at Tasyri’ dan hikmahnya. Sehingga mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam hal keagamaan.

Masa Tabi’in

Pada masa ini keadaan masih sama dengan sebelumnya, masa sahabat. Karena tabi’in adalah orang yang langsung bertemu dengan sahabat. Maka mereka mendapatkan bekal ilmu agama langsung dari para sahabat. Selain kemurnian dan kesungguhan para tabi’in, mereka juga mendapat lisensi dari Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya masa adalah masaku(termasuk sahabat), kemudian masa setelahnya(tabi’in) dan kemudian masa setelahnya(tabi’i tabi’in). Sehingga mereka, para tabi’in, juga memiliki kemampuan tinggi dalam pengambilan sebuah hukum dari sumbernya sebagaimana para sahabat. Maka belum ada kebutuhan untuk membukukan ushul fiqih.

Masa Tabi’i Tabi’in

Setelah habisnya masa tabi’in, ekspansi Islam sangat meluas. Dan lebih banyak terjadi masalah-masalah yang baru dengan bercampurnya bangsa selain arab ke dalam Islam. Maka banyak sekali ijtihad dari para mujtahid, munculnya berbagai cara dalam beristimbat hukum dan meluasnya munaqosah dan perdebatan yang digawangi oleh Madrosatu ar Ro’yi dan Madrosatu al Hadits. Yang menjadikan kesalahpahaman hingga menyalahkan satu dan lainnya mengenai perdebatan ini. Maka pada masa ini sangat dibutuhkan adanya pembukuan sebuah qaidah dan kriteria serta tatacara beristimbat atau yang kita sebut dengan ilmu ushul fiqih.

Diakatakan bahwa yang pertama kali menyusun ushul fiqih dalah Abu Yusuf Shohibu Abi Hanifah. Akan tetapi karangan beliau tidak sampai kepada umat sesuadahnya.
Dan yang paling diakui bahwa penyusun ilmu ushul fiqih pertama kali adalah Muhammad bin Idris as Syafi’i, dengan karyanya Ar Risalah. Wafat pada 204 H.

Kitab Ar Risalah ini berisikan tentang Al qur’an dan penjelasannya terhadap hukum-hukum, penjelasan Sunnah terhadap Al qur’an, Ijma’, Qiyas, nasikh dan masukh, al ‘amr, an nahyu berhujjah dengan Khabar wahid dan sebagainya dari pembahasan-pembahasan ushuliyyah.
Sebagaimana setiap sesuatu yang ada, berjalan dari masa kecilnya dan berkembang. Maka berawal dari Ar Risalah, berkembang setelahnya beberapa kitab ushul fiqih yang mensyarahi ar Risalah dari abad ke tiga hingga ke empat. Akan tetapi karangan-karangan tersebut tidak sampai kepada kita.

Corak dan Metode Ulama’ dalam Menyusun Ilmu Ushul Fiqih

Dalam menyusun sebuah metode ushul fiqih, para ulama’ pun tidak dalam metode yang sama. Setidaknya ada dua metode yang muncul pada masa pambukuan ilmu ini, dan muncul metode lain(muta’akhirin). Dua metoe awal ini adalah metode Mutakallimin dan Hanafiyyah.

1. MetodeUlama’ Mutakallimin (as Syafi’iyyah)
Kelompok ini terdiri dari ulama’ syafi’iyyah dan ulama’ malikiyyah. Yaitu memisahkan qaidah-qaidah ushuliyyah secara tersendiri, tanpa mempertimbangkan furu’ antara suatu madzhab dan yang lainnya. Kelompok ini lebih condong kepada pengambilan dalil ‘aqli.
Toriqoh Mutakallimin juga ditandai dengan pengokohan sebuah qaidah yang berdasarkan dalil mantiqi, tanpa adanya ta’asshub terhadap madzhab tertentu. Sebagaimana yang sering dibiasakan oleh Mu’tazilah, mereka selalu menggunakan dalil ‘aqli. Dengan ini, maka qaidah ini berlaku sebagai qaidah yang menghakimi furu’-furu’ yang ada di bawahnya dan tidak tunduk terhadap furu’-furu’. Maka dalam kitab-kitab yang mengikuti thoriqoh ini tidak memperbanyak furu’-furu’. Kalaupun ada biasanya hanya sebatas contoh untuk mempermudah pembaca dalam memahami qaidah.

Kitab-kitab Penting yang Dikarang Menurut Metode Mutakallimin
a. Al ‘Ahdu atau Al ‘Amdu yang dikarang oleh Al Qodhi Abdul Jabbar bin Ahmad al Hamdzani al Mu’tazili. Wafat 451 H.
b. Al Mu’tamad karya Abu Husain al Bashri. Wafat 436 H. kitab ini adalah Syarh dari kitab karya al Qodhi Abdul Jabbar.
c. Al Burhan karya Imam Haromain; Abdul Malik bin Yusuf al Juwaini. Wafat 478 H.
d. Al Mushtashfa karya Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghozali. Wafat 505 H. al Ghozali adalah murid Imam Haromain.

Kitab-kitab diatas adalah kitab pokok yang dihasilkan melalui metode mutakallimin. Kemudian keempat kitab diatas diringkas oleh dua imam besar, mereka adalah :

a. Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al Husain ar Rozi. Wafat 606 H. Dengan karyanya kitab Al Mahshul.

b. Saifuddin ‘Ali bin Abi ‘Ali bin Muhammad al ‘Amidy. Wafat 631 H. beliau meringkas dari keempat kitab di atas dan dinamakan kitab Al Ihkam fi Ushul al Ahkam.
Dengan adanya kedua ulama’ ini, maka para ulama’ setelahnya mulai meringkas kembali, dan mensyarahi kedua kitab ini.

Imam Usman bin ‘Umar bin al Hajib, wafat 646 H. Meringkas kitab al Ihkam , dan kitabnya diberi nama Al Mukhtashor al Kabir kemudian kitab ini diringkas kembali oleh beliau dan dinamai kitab Mukhtashor al Muntaha. Dari kitab ini pula, banyak ulama’ setelahnya yang mensyrahi hingga hasyiahnya.

Sedangkan kitab al Mahshul diringkas lebih dari satu, hingga Imam ar Rozi sendiri dan di beri nama al Muntakhob. Sebagaimana al Qodhi Tajuddin Muhammad bin Husain al Armawi. Wafat 656 H. dan diberi nama Al Hashil. Melihat betapa pentingnya kitab ini, dengan ‘ibarah-‘ibarah yang tajam, maka para ulama’ juga banyak yang mensyarah kitab ini, seperti dua ulama’ besar waktu itu :

a. Al Qodhi Abu Abdillah al Qufthi. Wafat 736 H. dan menamai kitabnya Tuhfatu al Washil fi Syarh al Hashil.
b. Al Qodhi Abdullah bin Umar al Baidhowi. Wafat 685 H. dan menamakan kitabnya dengan Minhaj al Wushul ila ‘Ilm al Ushul. Kitab ini juga menjadi perhatian banyak ulama’ dan mulai mensyarahnya hingga lebih dari 40 syarh kitab. Dan yang paling penting dan masyhur diantara syarh kitab Minhaj adalah syarh Imam Isnawi yang dinamakan Nihayat as Sul Syarh Minhaj al Wushul. Wafat 772 H.

2. Metode Ulama’ Hanafiyyah
Para ulama’ Hanafiyyah berbeda dengan ulama’ Mutakallimin. Metode yang mereka terapkan adalah menetapkan qaidah sesuai yang ditunjukkan oleh furu’-furu’. Dinama furu’-furu’ tersebut telah ditinggalkan oleh para imam thoriqoh ini. Mereka akan merubah qaidah jika qaidah tersebut bertentangan dengan furu’yang ditetapkan imamnya.
Walaupun mereka meletakkan qaidah ushuliyah yang terbangun dari pada furu’-furu’ yang ada, namun jika ada perbedaan antara qaidah dan furu’, maka qaidahlah yang akan ditinjau ulang. Dalam kitab-kitab yang dikarang melalui metode ini sangat banyak menyebutkan furu’-furu ataupun masalah far’iyyah. Hal ini lebih ditengarai oleh para Imam-imam Hanafiyyah yang tidak meninggalkan kitab ushul sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafi’i.

Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Hanafiyyah
a. Ushul Abi Zaid ad Dabusi. Wafat 430 H.
b. Ushul Abi Bakr Ahmad bin ‘Ali. Yang terkenal dengan Al Jashosh. Wafat 370 H.
c. Ushul Syamsul ‘A’immah al Sarkhosi. Wafat 428 H.
d. Ushul Fakhrul Islam al Bazdawi. Wafat 482 H. kitan ini merupakan kitab yang terbaik sebagai kitab mutaqoddimin.
e. Ushul al Kurkhi, karya Abu al Hasan al Kurkhi. Wafat 430 H.

3. Metode Muta’akhirin
Dengan berjalannya zaman dan berkembangnya keilmuan dalam ushul fiqih, maka ada sekelompok ulama’ yang berusaha menggabungkan kedua metode di atas.
Diantara Kitab-kitab yang Dikarang Melalui Metode Muta’akhirin
a. Badi’u an Nidzom, karya Mudzoffaruddin Ahmad bin Ali as Sa’ati al Baghdadi al Hanafi. Wafat 694 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan kitab al Ihkam.
b. Tanqih al Ushul karya Ubaidillah bin Mas’ud al Bukhori al Hanafi. Wafat 747 H. di dalamnya terdapat penggabungan antara ushul Bazdawi dan al Mahshul.
c. Jam’u al Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahab bin ali as Subki as Syafi’i. Wafat 771 H.
d. At Tahrir karya Al Kamal bin al Hilal al Hanafi. Wafat 861 H.
Ilmu ushul fiqih terus berkembang dengan adanya kitab-kitab karangan para ulama’ dari ulama’ mutaqoddimin hingga ulama’ muta’akhirin. Kenudian muncul juga kitab Al Muwafaqot karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as Syathiby. Wafat 780 H. karya-karya ulama’ ushuliyyin belum habis sampai disini.
Ada beberapa kitab ushul yang merupakan kitab untuk mempermudah para mahasiswa yang belajar di Universitas Al Azhar dan majlis ilmu lainnya, seperti :
a. Irsyadu al Fuhul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al Syaukani. Wafat 1255 H.
b. Ushul al Fiqh karya Muhammad Khudhori Bek. Wafat 1345 H.
c. Ilmu al Ushul karya Abdul Wahab Kholaf.
d. Ushul al Fiqh karya Muhammad Abu Zahroh. Wafat 1974 M.
Demikianlah uraian pengantar ilmu ushul fiqih secara singakat. Dan ini hanyalah sebuah usaha pemindahan materi dari sumber-sumber dan buku ushul fiqih. Semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua, amin.



Read More...... Read more...

Pengantar Ilmu Fiqih

Pendahuluan

Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada al qur’an sebagai al wahyu al matludan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istimbat.

Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Yaitu ada empat, diantaranya : Pertama adalah masa kemunculan dan pembentuakn dasar-dasar islam, perode ini mencakup masa Nani SAW dan bisa juga disebut sebagai masa turunnya al qur’an atau wahyu. Kedua adalah masa pembangunan dan penyempurnaan, pada periode ini mencakup masa sahabat dan tabi’in hingga pertengahan qurun ke empat hijriyah. Yang ke tiga adalah masa taqlid dan jumud, pada periode ini berkisar antara pertengahan abad ke empat hingga abad ke tiga belas hijriyah. Keempat adalah masa kebangkitan, periode ini berkisar dari abad dua belas hingga sekarang.

1. Pengertian ilmu fiqih

a) Menurut bahasa : al ‘ilmu wal fahmu, mengetahui dan memahami.
قال تعالى : وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم اذا رجعوا اليهم لعلهم يحذرون.
Dan yang dimaksud dengan tafqquh fi din di dalam ayat di atas adalah al fahmu wal ‘ilmu atas semua hukum-hukum agama.
b) Menurut istilah :
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلّتها التفصيلية.
Yaitu mengetahui hukum-hukum syar’i yang berkenaan dengan amal yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.

2. Cakupan Pembahasan Ilmu Fiqih
Ada beberapa pendapat tentang cakupan pembahasan ilmu ini, dan diantaranya adalah dibagi menjadi dua hal penting. Yaitu :
a) Ibadah : ini mecakup sholat puasa zakat haji dll.
b) Mu’amalah : mencakup hal-hal yang selain ibadah yang merupakan hukum yang bersifat amaliyah. Mulai dari jinayat, mu’amaah, wasiat dan mawaris.
Ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa pemabahasan ilmu ini dibagi menjadi tiga, diantaranya :
a) Ibadah : yaitu sholat, puasa, zakat, haji dan jihad.
b) Mu’amalat : yaitu mencakup jual beli, amanah, pernikahan dan segala macam yang berkaitan dengannya.
c) Hukuman : tentang qishosh, had bagi pencuri, had bagi pezina, had al qodzaf dan hukuman bagi orang-orang yang murtad dari agama islam.

3. Periode Perkembangan Ilmu Fiqih
Peiode perkembangan ilmu fiqih dapat kita kualifikasikan menjadi 4 periode.

A) Masa kemunculan dan peletakan dasar-dasar islam (daur an Nasy’ah wa at Ta’sis)

Periode ini berjalan selama 23 tahun, dimulai pada tahun 13 sebelum masehi hingga wafatnya Rosululloh SAW. Masa ini dinamakan masa kemunculan dan peletakan dasar-dasar islam yang disebabkan oleh beberapa sebab. Diantaranya :
 Telah sempurnanya dasar-dasar agama islam dan sumber hukum yang utama.
 Bahwa setiap hukum syar’i yang ada pada masa ini bersumber kepada Nabi SAW.
 Masa setelah Nabi SAW tidak mendatangkang suatu hukum yang baru, kecuali jika ada permasalaan yang muncul dan permasalahan itu tidak terdapat pada masa Nabi SAW, dengan menggunakan ijma’ ataupun qiyas.
Pada periode ini juga dibegi menjadi dua bagian, masa Nabi SAW di Makkah selama 13 tahun. Dan masa Nabi SAW di Madinah selama 10 tahun atau hingga wafatnya Rosululloh SAW.

1) Bagian pertama (Makkah)
Proses da’wah Nabi SAW dimulai dari kota ini, Makkah. Mulai umur 40 tahun setelah diangkat sebagai rosul dan telah menerima wahyu yang pertama, Nabi SAW mulai menyerukan agama islam kepada kaum kafir, hingga hijrah beliau ke Madinah. Dalam marhalah ini Nabi SAW menekankan penyeruannya dalam dua hal. Yaitu masalah keimanan atau aqidah, agar kaum kafir quraisy meninggalkan sesembahannya kepada berhala dan berpaling kepada Allah SWT.
Disamping itu, Nabi SAW juga menekankan kepada akhlaq kaum kafir yang pada masa itu akhlaq kaum kafir quraisy sangatlah bobrok, banyak terjadi kemungkaran, ketidak adilan dsb, dan dikenal sebagai zaman jahiliyyah.

2) Bagian kedua (Madinah)
Marhalah ini berjalan selama 10 tahun, mulai dari hijrah Nabi SAW hingga wafat beliau. Dalam marhalah ini Nabi SAW menerusakan dakwahnya lebih menekankan pada masalah perbuatan ibadah dan hukum-hukumnya. Hal ini disebabkan karena pada marhalah yang pertama, Nabi SAW sudah menekankan pada aqidah dan akhlaq, maka pada marhalah ini perlu ditunjukkan kepada para umat islam tentang syari’at dan amaliyah yang di wajibkan.
Maka semua perintah ibadah apapun yang di wajibkan bagi umat islam berada dalam marhalah ini kecuali kewajiban sholat yang mana turunnya wahyu ini terdapat dalam kisah isro’ mi’roj, yang terjadi setahun sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Dengan kurun waktu kurang lebih selam 23 tahum lamanya, syari’at islam telah mencakup semua hal permasalahan yang ada waktu itu.
Masdar hukum pada masa ini
Dalam masa ini hanya terdapat dua sumber hukum yang semuanya itu adalah berasal dari Nai SAW. Yaitu, al Wahyu al Matlu (al qur’an) dan al Wahyu Ghoiru Matlu (sunnah).
Keutamaan marhalah ini (Nasy’ah wa Ta’sis)

1. Pada marhalah ini, sumber hukumnya hanya kepada Nabi SAW dalam al qur’an dan sunnah. Serta Nabi SAW menjadi salah satunya marja’ dalam mengetahui hukum-hukum syari’ah yang ada kala itu.

2. Syari’at pada masa ini sudah sempurna dengan qowa’id dan dasar-dasarnya. Yang mana itu bersusun dengan metode yang bagus dam menyeluruh. Seperti lafadz yang mujmal dan dasar-dasar hukum yang tetap.

3. Dalam masa ini, arti fiqih secara istilah belum muncul.

B) Masa pengembangan dan penyempurnaan

Seusai masa Nabi SAW yang telah meletakkan hukum-hukum islam serta menjadikan al qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum waktu itu, dengan memuat di dalamnya qowa’id kulliyah dan dasar-dasar yang tetap, maka hal ini memberi kesempatan bagi para mujtahidin untuk mengembangkan cabang-cabang dari pada hukum-hukum yang mujmal tersebut. Sehingga sumber hukum yang tersumber hanya pada al qur’an dan sunnah, menjadi sebuah ladasan hukum yang akan selalu relevan dalam mensikapi masalah-masalah yang timbul sepanjang zaman.

Maka dari itu, dalam marhalah sepeninggal Rosululloh merupakan masa dimana ijtihad para sahab mulai berkembang. Istimbat hukum dari nas alqur’an dan sunnah mulai diterapkan. Selain itu juga pendapat kesepakatan para sahabat mulai diperlakukan jika mereka menemui masalah yang tidak terdapat dalam nas. Masa ini tergolong mempunyai tenggang waktu yang cukup lama. Yaitu mulai sepeninggal Rosululloh SAW hingga pertengahan abad ke empat hijriyyah.

Dan dalam marhalah ini, dapat dibagi menjadi tiga marhalah. Yaitu :
 Marhalah Khulafa’ur Rosyidin
 Marhalah Umawiyyin (daulah Umayyah)
 Marhalah Abasiyyah (daulah Abasiyyah)

1. Marhalah Khulafa’ur Rosyidin
Marhalah ini dimulai dari sepeninggal Rosululloh SAW pada tahun 11 H. hingga berakhirnya masa Khulafa’ur Rosyidin pada tahun 40 H. dengan sempurnanya syari’at pada masa Nabi SAW, maka para sahabat merupakan orang-orang yang mempunyai kemampuan yang paling tinggi dalam berijtihad dan beristimbat hukum.
Pengertian sahabat
Yaitu : setiap orang yang pernah berjumpa Rosululloh SAW dengan beriman kepadanya dan mati dalam keadaan islam.
Dalam pengertian sahabat terdapat beberapa perbedaan menurut sebagian ulama’. Diantaranya ada yang menysaratkan dengan periwayatan, bermulazamah, dan mengikuti salah satu perang bersama Nabi SAW. Dan ada yang sama sekali tidak mensyaratkan hal tersebut diatas.
Keunggulan para sahabat dalam berijtihad dan beristimbat hukum, dibanding umat isam yang lain disebabkan beberapa hal sebagai berikut :
 Dekatnya kebersamaan para sahabat kepada Nabi SAW menyebabkan mereka sangat paham dengan sebab-sebab turunnya al qur’an, asbabul wurudnya hadits, penafsiran Nabi SAW terhadap beberapa ayat serta mengetahui ‘illah dari pada hukum-hukum dan hikmah dari setiap syari’at yang ada.
 Kemempuan bahasa para sahabat yang sangat mahir yang mana al qur’an turun dengan bahasa mereka.
 Hafalan al qur’an dan sunnah yang dimiliki para sahabat. Sehingga mereka merupakan orang-orang yang paling dahulu memahami hukum-hukum islam.
Walaupun demikian, namun para sahabat Nabi SAW tidaklah mempunyai kemampuan yang sama. Mereka mempunyai kemampuan dalam berijtihad dan mengambil hukun dari al qur’an yang berbeda. Hal itu karena waktu para sahabat dalam mendampingi Rosul SAW yang tidak sama. Ada yang lama, ada juga yang sebentar. Selain itu juga para sahabat sebagai mana tabi’at manusia, yaitu memiliki kemampuan dalam diri masing-masing yang berbeda satu sama lain.

Sumber-sumber hukum pada masa ini
 Al qur’an
 Sunnah
 Ijma’
 Qiyas/ pendapat
Keistimewaan masa Khulafa’ur Rosyidin
 Bahwa fiqih pada masa ini muncul sesuai dengan perjalannya waktu. Dalam artian, kapan ada suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam Nas, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari al qur’an dan sunnah.
 Dalam masa ini terjadi pengumpulan al qur’an dan menjadikannya dalam satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umat islam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah arab.
 Dalam masa ini juga belum ada periwayatan hadits, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu hukum.
 Di masa ini juga telah menghadirkan sumber hukum baru yaitu ijma’. Dan ini banyak sekali timbul permasalahan yang merujuk pada ijma’.

2. Marhalah Daulah Umayah
Masa ini dimulai pada tahun 41 H. Tepatnya setelah meninggalnya Khalifah Ali r.a. dan berjalan hingga awal abad ke dua, tepatnya pada tahun 132 H. masa ini memang sebagai permualaan masa pekembangan fiqih dalam islam. Selain itu juga berkembanganya firqoh-firqoh islam serta muncul beberapa permasalahan politik.
Maka dengan hal semua itu dapat kita temui ada tiga macam firqoh yang diikuti kaum muslimin waktu itu.
a) Syi’ah
Mereka adalah sekelompok orang yang sangat mengidolakan sahabat Ali r.a. selain itu juga mereka adalah orang-orang yang berpendapat bahwa khilafah setelah meninggalnya Rosululloh SAW adalah sahabat Ali r.a. dan para keturunannya. Jadi bahwa pemilihan kholifah haruslah dengan cara pewarisan. Dan masih banyak lagi hal-hal khusus yang menjadi karakteristik firqoh ini. Firqoh ini juga masih terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah : Az Zaidiyyah, al Imamiyyah al Itsna ‘Asyariyyah, al Isma’iliyyah.
b) Khowarij
Mereka adalah sebagian kelompok yang tidak setuju dengan keputusan sahabat Ali r.a. yang menerima tahkim dalam perang dengan Mu’awiyah (perang sifin). Maka kemudian mereka mengkafirkan sahabat Ali begitu juga mengkairkan Mu’awiyah. Dan salah satu pendapat mereka bahwa pemilihan kholifah haruslah dari seorang yang adail secara mutlak. Dalam artian, pemimpin merupakan orang yang tidak melakukan dosa besar. Dan kholifah tidaka harus dari kalangan kaum quraisy atau bangsa arab. Firqoh ini dipelopori oleh Abdulloh bin Wahhab ar Rosiby. Firqoh ini juga terbagi oleh beberapa kelompok, dan yang paling terkenal dan mendekati ahli sunnah adalah al Ibadhiyah.
c) Jumhur Muslimin
Mereka adalah kelompok yang memutuskan untuk tidak bercondong ke firqoh manapun. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penengan diantara dua kelompok di atas. Dan diantara pendapatnya bahwa kholifah haruslah berasal dari kaum quraisy bukan dari kaum yang lain. Kelompok ini juga tidak luput dari perbedaan, yaitu tentang istibat dalam sebuah hukum, kelompok ini terbagi menjadi dua kelompok. Ahli hadits dan ahli ro’yi.
Dengan adanya khilaf tentang politik, sangatlah berpengaruh pada perkembangan ilmu fiqih yang mana dari khilaf tersebut, menghasilkan manhaj fiqh yang berbeda-beda. Dan permulaan abad ke dua ini, pembahasan tentang syari’ah dan fiqih juga masih sangat bagus seperti halnya pada masa sahabat. Walaupun di masa ini sudah muncul majal baru yaitu permasalahan polotik.
Masa ini juga ditandai dengan banyak mufti diantara mereka. Terang saja, karena disana banyak sekali permasalahan yang muncul dimana permasalahan tersebut belum ada pada masa Nabi SAW. Maka kegatan ilmu fiqih sangat berkembang waktu itu. Hal itu disebabkan oleh beberapa sebab sebagai berikut.
 Tersebarnya para sahabat ke daerah luas.
 Meluasnya periwayatan hadits.
 Terjunnya kaum Mawaly (para budak yang telah merdeka) ke dalam ilmu fiqih dan syari’at.
 Munculnya madrasah fiqhiyyah.



3. Daulah Abasiyyah
Marhalah masih merupakan bagian dari marhalah penyempurnaan fiqih islam. Dimulai dari runtuhnya daulah Umayah pada tahun 132 H. dan selesai hingga pertengahan abad ke empat H. ketika khilafah Abasiyyah ini sudah sangat lemah dan hanya sebatas nama.
Masa ini tergolong menjadi puncak perkembangan ilmu fiqih yang mana ilmu ini sudah mencapai pada pemahasan yang rinci, serta mencakup ke seluruh aspek. selain berdirinya ilmu fiqih sebagai disiplin ilmu tersendiri pada masa ini, terdapat pembukuan dari beberapa ilmu seperti tafsir, hadits dan ilmu bahasa.
Adapun sebeb-sebab perkembangan ilmu tersebut adalah sebagai berikut :
 Terjaganya ilmu fiqih dan para ahli fiqih pada marhalah daulah Abasiyyah.
 Bersungguh sungguh dalam mendidik para pemimpin dengan keagamaan.
 Memiliki demokrasi yang baik, khususnya bebas berpendapat dalam masalah keagamaan.
 Banyaknya perdebatan dan diskusi ilmiyyah antara ahli fiqih.
 Banyaknya kejadian-kejadian baru yang muncul pada masa ini.
 Pengaruh pemikiran-pemikiran dan pengetahuan dari berbagai bangsa.
 Pembukuan buku-buku penting dan terjemah buku ilmiyah.
Sumber hukum pada masa ini
Dalam masa ini ada dua macam suber hukum, mashodir muttafaq ‘alaiha dan mashodir mukhtalaf ‘alaiha. Ada empat sumber hukun yang disepakati jumhur muslimin, yaitu : al qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.
Sedangkan sumber hukum yang mukhtalaf yaitu :
Istihsan, mashlahah mursalah, istishab, saddu Dzaro’i’, ‘amal ahli Madinah, qoul sohabiy, ‘urf dan yang terakhir adalah syar’ man qoblana.
Keistimewaan masa ini
 Fiqih sudah sampai pada titik sempurna pada masa ini.
 Pada masa ini muncul ulam’-ulama’ besar, fuqoha’ dan ahli ilmu yang lain.
 Madzhab fiqih pada masa ini dudah berkembang dan yang paling masyhur adalah 4 madzhab.
 Telah dibukukan ilmu-ilmu penting dalam islam. Diantaranya, dalam madzhab abu hanifah : kutub dzohir al Riwayah yang diriwayatkan dari oleh Muhammad bin al Hasan dari Abu Yusuf dari imam Abu Hanifah, kemudian dikumpulkan menjadi kitab al Kafi oleh al Hakim as Syahid. Dalam madzhab imam Malik : al Mudawwanah yang diriwayatkan oleh Sahnun dari Ibnu Qosim dari imam Malik. Dalam madzhab imam Syafi’i kitab al Um yang diimlakkan oleh imam kepada muridnya di Mesir. Dalam madzhab imam Ahmad kitab al Jami’ al Kabir yang dikarang oleh Abu Bakar al Khollal setelah mengumpulkannya dari pere murid imam Ahmad.

C) Masa Taqlid dan Jumud
masa ini di mulai setelah pertengahan abad ke empat hijriyah, hingga akhir abad ke 13 H. marhalah ini dapat dibagi menjadi dua masa taqlid dan jumud.
1. Masa Taqlid
masa ini disebut masa taqlid karena memang para ulama’ waktu itu tidak lagi beristimabt dan berusaha menghasilkan hukum dari buah pikirannya. Melainkan mereka mengikuti madzhab tertentu dan hanya berqiblat pada imam madzhab tertentu. Tidak seperti pada masa sebelumnya yang jika da permasalahan bar, mereka berusaha mencari solusi berdasarkan al qur’an dan sunnah.
Selain itu, luasnya daerah kekuasaan islam yang diisi pada setiap daerah satu pemimpin Amirul mu’minin, semakin lama kondisi ini menyebabkan terpecahnya kekuasaan islam. Sehingga islam menjadi beberapa bagian yang memudahkan kaum musuh untuk menghancurkan islam.
Keadaan islam waktu itu semakin mundur dengan adanya politik yang mulai masuk pada kekholifahan. Hal ini menyebabkan konsentrasi para pemimpin tidak terfokus untuk menjaga fiqih dan ulama’nya, sehingga para ulama’ waktu itu juga menurun kualitasnya dan hanya taqlid kepada imam-imam madzhab.
Sebab-sebab taqlid
 Pembukuan kitab-kitab fiqih
 Fanatik terhadap madzhab tertentu
 Kemampuan dalam memutuskan hukum
 Ditutupnya pintu ijtihad
Ulama’ masa ini
Madzhab Abu Hanifah : Abu Hasan al Kurkhi, al Qoduri, as Sarkhosi, as Samarkhan. Madzhab imam Malik : Abu Walid al Baji, Abu Muhammad al Maki, Ibnu Rusyd al Hafid. Madzhab Syafi’i : Mawardi, as Syirozi. Madzhab Hambali : Ibnu Qudamah. ibnu Hazm ad Dhohiri.
2. Masa Jumud dan Ta’akhur
Masa ini dimulai dari tahun 656 hijriyah tepat dengan runtuhnya Baghdad yang ditahlukkan oleh Holago khan dari bangsa Tartar, dan selesai pada akhir abad ke 13 H.
Marhalah ini terhitung menjadi masa yang terpanjang dalam perkembangan fiqih islam. Namun fiqih islam justru mengalami kemunduran. Dibuktikan dengan adanya karangan-karangan kitab yang mempermudah para pembaca dalam memahaminya seperti matan, mukhtasor, syarh, hasyiyah dan lain sebagainya.
Namun Allah SWT tidaklah akan meninggalkan hambanya dengan membiarkan islam dalam masa kejumudan dan tidak ada ijtihad. Maka pada masa ini muncullah beberapa ulama’ mujaddid yang membuka kembali pintu ijtihad. Yaitu Ibnu Taimiyyah (meninggal tahun 728 H.) dan Ibnu Qoyyim al Juziyyah (meninggal tahun 751 H.). mereka adalah ulama’ Hanabilah.
Ulama’ masa ini
Muhyidin an Nawawi (wafat 676 H.), as Subki (wafat 756 H.), Zakariya al Ansori (wafat 926), Ibnu Timiyyah, Ibnu Qoyyim.

D) Masa kebangkitan islam
Masa ini dimulai dari akhir abad ke 13 hijriyyah hingga saat sekarang. Kebangkitan ini ditandai dengan beberapa kemajuan yang sebelumnya belum ada semisal hilangnya fanatik dihati kaum muslimin yang membuka pikiran kaum muslimin untuk mengembangkan sebuah pemikiran agamanya. Kemudian juga mulai adanya pembelajaran fiqih muqoron walaupun sebelumnya telah ada buku-buku tentang fiqih muqoron. Dan diantara ulama’ masa ini : imam Muhammad Abduh(1115-1206 H.),imam as Syaukani(1172-1250 H.), imam Muhammad Abduh(1266-1323 H.)

Epilog
Begitu panjang perjalanan ilmu fiqih dari kemunculannya hingga sekarang dan mungkin hingga puluhan tahun ke depan fiqih akan selalu berkembang karena memang hukum islam dengan qoidah mujmalah yang ada dalam al qur’an sebagai sumber utama islam, menjadi tempat olah pikir para ahli agama untuk merespon masalah-masalah yang muncul. Sehingga syari’at islam akan selalu relevan sebagai sumber solusi masalah yang muncul sepanjang zaman.



Read More...... Read more...

Atsar Negri Para Nabi

Negri yang juga disebut sebagai Bumi Kinanah ini memang menarik. Sudah sekian ratus tahun lamanya nabi yang pernah hidup di negri ini telah wafat. Namun atsar kenabian masih akrab dengan mesir. Subhanallah….!!

Tapi jangan lupa bahwa Fir’aun pun pernah hidup di sini. Siapa yang tidak kenal orang yang pernah mengaku sebagai Tuhan, siapa yang tidak kenal orang yang ketika mati, bumi manapun tidak mau menerima jasadnya. Na’u dzu billah min dzalik….!!! Itulah Fir’aun, sehingga sampai saat ini jasadnya masih ada di salah satu museum yang ada di kairo. Maka atsarnya (bukan yang mengaku Tuhan) juga masih akrab dengan Mesir walaupun relatif sedikit.

Waktu itu ketika aku pergi bersama temanku (Saef) ke Gami’ (salah satu nama tempat dekat rumah) untuk membeli kabel printer Misykati yang baru, sungguh aku mengalami hal penting. Ketika kita (Aku dan Saef) sampai ke sebuah toko bernama ‘Ibadurrahman dekat belokan Gami’, Aku mulai melakukan transaksi pembelian kabel. Tiba- tiba salah satu temanku yang lain datang menghampiri dan mengatakan bahwa kabel yang dibutuhkan ternyata sudah ada dirumah. Maka segera Aku menanyakan merek kabel yang lain ke penjual karena Aku lihat di sana hanya ada satu merek, agar Aku tidak jadi membelinya karena di rumah sudah ada.

Setelah Aku bilang ke penjual, orang mesir itu dengan menampilkan wajah yang ceria dan tawadhu’ seraya mengatakan : Aiwa, ma’aleisy. Hagat tani? Penjual bertanya.
Hmmm….Aku berpikir sejenak, lalu Aku membeli kertas A4 satu rim. Aku bilang ke penjual dan menanyakan harganya. Penjual mengatakan kalau harganya 25 pound. Aku segera setuju dan membayarnya dengan uang 30 pound, lalu menunggu kembalian. Setelah semua selesai, Aku dan kedua temanku (Fandi dan Saef) segera pulang.

Sebelum kita beranjak keluar toko, Si penjual menahanku seraya mengatakan : Istanna da’i’ah..! Aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Kenapa aku diruruh menunggu sebentar??!! Sedangkan dia (penjual) menelpon seseorang. Aku langsung menanyakan kedua temanku : Bawa passport ?? kebetulan Fandi tidak membawa passport. Lalu Aku suruh dia (Fandi) pulang duluan. Aku hawatir penjual itu memanggil polisi atau mabahis.

Jelas aku kawatir dia adalah salah satu mata mata, pikirku. Lantaran beberapa hari yang lalu ada pemeriksaan di Gami’ kepada orang asing termasuk mahasiswa. Tanpa ada pemberi tahuan dahulu. Alhasil, banyak orang Indonesia yang tertangkap karena tidak membawa passport. Bahkan saat ini ada orang Indonesia yang dulu tertangkap akan segera dideportasi (dipulangkan ke negara asal) karena bermasalah. Aku dan kedua temanku memang tidak bermasalah, karena kita masih punya visa untuk bisa tinggal di Mesir. Tapi kita tetap tidak mau berurusan dengan polisi. Apalagi salah satu temanku ada yang tidak membawa passport.

Aku memang agak panik saat itu. Lalu Aku mendekati penjual itu yang sedang berada di luar toko. Dan menanyakan kenapa Aku harus menunggu sebentar….dia kelihatannya tidak berhasil menghubungi seseorang itu. Dia member isyarat kepadaku agar menunggu sebentar, sementara dia mencoba menelpon lagi. Huh… Aku semakin penasaran. Setelah dia berhenti menelpon dan kelihatannya tidak berhasil juga, dia bilang kepadaku : Ana bettashel shadi’i ‘an taman kirtos dzih.

Mahallat dzih musy bita’ak? Tanya Saef.
Panjual menjawab : Mahallat dzih bita’i ana. Bass ana gheir muta’akkid taman A4 (pakai ejaan bahasa inggris).
Zaei enta matte’rofsy taman? Sahutku.
Penjual berkata : Bass isma’ ya rayis…!! Ana bas’al tanziil taman la liirraf’i. lau taman dzih a’al min khomsah wa ‘isyrin, hagiblak khomsah gineh Kaman. Masyi.??? Tsawanii..
Ooo…Aku baru mengerti apa yang penjual inginkan. Subhanalllah….!!! Ternyata dia masih ragu dengan harga kertas sebesar 25 pound dan dia takut harga itu terlalu mahal, makannya dia menanyakan kepada temannya. Padahal akad kita dalam membeli kertas sudah selesai dan Aku dengan harga 25 pound sudah setuju.
Kemudian penjual berkata kepada Saef : mumkin terga’ wa ta’ud ba’da sa’ah we khudz fulusak..!!

Kemudian Saef menanyakan tentang perkataanya kepadaku dan Kita bersepakat untuk langsung pulang saja dan mengikhlaskan sisa lima pound itu. Setelah Aku mengatakan kepada penjual, dia lagsung berkata : La, lau akhudz dzih khomsah gineh, harom.
Singkat cerita, dia tetep tidak mau begitu saja menerima sisa uang itu. Sedangkan Aku dan Saef keburu pulang karena sudah ditunggu teman yang lain. Hingga pada akhirnya penjual bilang kepadaku, apabila nanti Aku ke sini lagi tolong ambil saja uang itu, sambil Dia memperkenalkan diri. Mahmud namanya.

Itulah yang membuat Aku merasa terenyuh. Bagaimana tidak?? begitu hati hati Dia dalam mencari rizki, apalagi menyangkut hak orang lain sedangkan Kita?? Apalagi waktu itu Aku malah mempunyai perasaan buruk sangka kepadanya. Huh…. Ironis sekali. Ini membuktikan bahwa keimanan itu mempunyai tingkatan. Dan perbedaan Aku kepadanya bener – bener membuatku seakan adalah seorang Compong yang bersu’udzon kepada orang yang wira’i.

Robbi habli imanan kaamilan, waj’alli min ‘ibaadikas sholihin..amin.
Demikian sedikit contoh akhlaq salah seorang mesir yang menjadi bukti bahwa Mesir adalah Negri para nabi. Dan atsar kenabiannya pun masih ada. semoga bermanfaat. Amin….


Read More...... Read more...

Imam Malik bin Anas

Imam Malik mempunyai nama lengkap Malik bin Anas bin Amir al Ashbahi. Lahir di Madinah pada tahun 93 H. Dari kedua orang tua arab, maka dinisbatkan kepada bapaknya yang berasal dari qabilah Dzi Ashbah, salah satu qabilah yang ada di Yaman. Dan ibunya adalah al ‘Aliyah binti Syarik al Asadiyah, yaitu berasal dari qabilah Asad. Kakeknya Abu ‘Amir adalah seorang sohabi yang beberapa kali mengikuti perang bersama Nabi SAW kecuali perang Badar. Sebagaimana kakeknya yang paling muda adalah seorang pembesar Tabi’in, dia adalah salah satu dari empat orang yang memikul jasad sahabat Utsman ke makamnya pada malam hari.

Imam Malik bin Anas menghabiskan waktu hidupnya hanya di kota Madinah, dan tidak diketahui kepergian beliau dari kota Madinah kecuali pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sehingga meninggal di sana pada tahun 179 H.

Imam Malik bin Anas telah hafal Al qur’an semenjak kecil, kemudian mulai untuk menggali ilmu dari para ulama Madinah seperti mengikuti majlis Robi’atur Ro’yi. Dan setelah selesai dalam majlis ini, imam Malik berpindah kepada Abdur Rahman bin Harmaz.

Imam Malik sangat kagum kepada Abdul Rahman bin Harmaz yang mana beliau adalah salah satu tabi’in ahli ushul, fiqih dan hadits. Abdul Rahman bin Harmaz meriwayatkan dari Abu Huroiroh, Abu Sa’id al Hudhri, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Imam Malik adalah seorang yang sangat pandai dalam segala ilmu, dan sangat bersemangat dalam mencarinya. Sehingga beliau tidak menyisakan tenaga dan harta demi mencari ilmu. Imam Malik sangat gigih sehingga dalam salah satu riwayat beliau pernah menjual atap rumahnya demi kelanjutannya dalam mencari ilmu. Imam Malik juga mempunyai beberapa masyayikh, yang mana beliau selalu pergi ke tempat mereka untuk mencari ilmu walaupun keadaan cuaca sangat panas ataupun sangat dingin.

Imam Malik memulai belajar dengan periwayatan hadits, ilmu fatawa shohabah, kemudian membuat dasar-dasar fiqih dalam madzhabnya, dan tidak cukup sampai itu saja, beliau bahkan mempelajari semua disiplin ilmu syari’ah. Maka imam Malik tidak hanya sebagai ulama’ hadits saja, namun juga sebagai salah satu imam madzhab fiqih. Maka banyak ulama’-ulama’ besar yang datang kepadanya untuk menimba ilmu. Sehingga madzhab Imam Malik tersebar ke penjuru dunia. Dan pada musim haji, banyak orang yang berbondong-bondong untuk bertemu kepada Imam Malik, sehingga mereka pun rela bergelut dengan suasana yang sangat penuh.

Guru-guru imam Malik bin Anas

Imam Mailk bin Anas berguru dalam ilmu fiqih dan sunnahnya kepada beberapa ulama’ besar saat itu. Diantaranya, Abdul Rahman bin Harmaz, Muhammad bin Muslim bin Syihab az Zuhri, Abu al Zaman ‘Abdullah bin Zakwan, Robi’ah bin ‘Abdul Rahman yang dinamakan juga sebagai Robi’at ar Ro’yi.

Dan perlu diketahui bahwa mereka (masyayikh Imam Malik), sangat menguasai berbagai ilmu, dari fiqih, ijtihad, hadits dan atsar para sahabat. Dan Imam Malik bin Anas telah menguasai semua ilmu dari mereka, sehingga Imam Malik bin Anas disebut sebagai muhaddis, dan disebut juga sebagai faqih.

Kitab Muwato’

Kitab ini terhitung sebagai kitab yang pertama kali disusun. Dimana kitab ini mencakup riwayat-riwayat dari sunnah. Hal ini karena para ulama’ saat itu kebanyakan hanya menyimpan riwayat haditsnya di dalam ingatan mereka. Dan banyak dari mereka yang tidak pandai dalam menulis dan menyusun kitab.

Imam Malik bin Anas mulai menyusun kitabnya pada masa kholifah Abasiyyah, Abi Mansur dan beberapa pemimpin al Mahdi. Sedangkan kholifah Rosyid berusaha menjadikan Muwato’ sebagai panduan peraturan dalam negara islam. Sehingga dalam menghakimi berbagai masalah, akan merujuk pada kitab ini. Selain itu, kholifah juga menginginkan kitab ini di pajang pada dinding ka’bah agar seluruh umat islam mengetahui kitab muwato’ ini. Akan tetapi Imam Malik menolak tawaran tersebut.

Kitan Muwato’ telah mencakup ilmu fiqih. Maka muwato’ merupakan kitab hadits dan juga kitab fiqih. Banyak ulama’ yang meriwayatkan kitab ini, diantaranya riwayat Yahya bin Yahya al Laitsi al Andalusi, riwayat Muhammad bin al Hasan as Syibani dan lain sebagainya.

Murid-murid Imam Malik

1. Ibnu Qosim (128-197 H.)
2. Ibnu Wahhab (125-197 H.)
3. Asyhab (145-204 H.)


Read More...... Read more...

  ©Template by Dicas Blogger.