Mengenal Kuliyyat Khomsah
Syari’at yang diturunkan oleh Syari’ kepada umat manusia tentunya memiliki sebuah tujuan. Sebagaimana yang tertuliskan dalam al qur’an, bahwa Allah tidak mungkin melakukan suatu hal yang sia – sia. Dengan melalui perantara para rosul, syari’at allah disampaikan kepada umat manusia sejak umat yang terdahulu seperti kaum nabi Nuh, kaum nabi Sholeh, nabi Luth dan seterusnya hingga umat muhammadiyah sekarang ini. Dari kesemua syari’at ini, pada khususnya syari’at islam datang tidak lain adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri dimasa sekarang ataupun yang akan datang.
Maka sebagaimana syari’at (al qur’an dan sunnah)yang memiliki sifat “petunjuk” bagi umat haruslah mencakup segala permasalahan dari awal turunnya syari’at hingga masa sekarang bahkan sampai akhir zaman.
Maka para ulama haruslah mengetahui hukum – hukum pokok ataupun kaidah – kaidah qoth’iyah dalam al qur’an, sehingga mereka dapat menentukan hukum berbagai masalah yang muncul pada masa – masa dewasa ini dengan mengkiyaskan permasalahan baru kepada sumber aslinya (al qur’an dan sunnah). Dan untuk dapat menkiyaskah masalah itu, tentunya juga harus mengetahui ‘illah dari pada kaidah – kaidah qoth’iyah dalam nash dan ‘illah dalam masalah yang baru tersebut.
Para ulama terdahulu sedikit berbeda pendapat tentang penetapan kaidah qoth’iyah pada ushul fiqh sebagaimana qoth’inya ushul ad Din. Maka imam as Syatibi memalui kitab muwafaqotnya berusaha menjadikan maqosid syari’ah kaidah qoth’yah dengan berbagai dalil dalam al qur’an. Seperti :
Penggagas
Ulama yang pertama kali merangkum bab ini menjadi sebuah ilmu tersendiri adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa as Syathibi al Maliki yang meninggal tahun 790 H. Dalam kitabnya al Muwafaqot .
Pengertian Maqoshid Syari’ah
Secara bahasa: Maqoshidu as Syari’ah adalah bentuk idhofah yang tersusun dari dua kata, maqoshid dan syari’ah. Maqoshid adalah masda dari kata qoshoda yang berarti bermaksud, berniat dan menghendaki . Sedangkan syari’ah bermakna undang - undang .
Sedangkan secara istilah, penulis belum menemukan pengertian maqoshid syari’ah dalam kitab – kitab maqashid syari’ah seperti imam as Syathibi sendiri tidak mencantumkan maknanya secara istilah.
Setelah kita mengetahui tentang pengertian maqashid syari’ah secara bahasa, dapat kita ketahui bahwa dalam penciptaan dan peletakan sebuah syari’at terhadap makhluk-Nya, tentu memiliki sebuah tujuan yang diinginkan oleh Syari’. Sebagaimana pemberian taklif bagi setiap muslim tentulah memiliki tujuan, yaitu untuk menjaga ataupun memelihara kemaslahatan muslim itu sendiri. Dan kemaslahatan atau maqosid ini sencakup tiga macam :
I. Masholih Dhoruriyah (primer)
Masholih dhoruriyah adalah sebuah kemaslahatan yang harus terpenuhi oleh umat. Sehingga apabila maslahat ini terabaikan akan mengakibatkan stabilitas kehidupan maupun agama menjadi rusak bahkan hilang.
Bentuk kemaslahatan bagi manusia yang merupkan maqoshid syari’ah adalah sebuah penjagan ataupun pemeliharaan terhadap manusia itu sendiri. Dan penjagaan itu juga meliputi dua hal :
a. Melaksanakan semua perintah syari’at disertai dengan keyakinan.
Seperti : memunaikan sholat, berpuasa, zakat dll.
b. Meninggalkan semua larangan syari’at serta meyakininya.
Seperti : larangan membunuh orang lain, larangan mencuri dll .
Perintah dan larangan tersebut masing – masing diwajibkan guna kemaslahatan bagi manusia itu sendiri.
Dalam masholih dhoruriyah terdapat lima bagian yang kemjudian sering disebut dengan “kuliyyat khomsah” atau ”maqosid khomsah” , yaitu : hifdzu ad Din, hifdzu an Nafs, hifdzu al ‘uqul, hifdzu al Amwal, dan hifdzu al Ansab.
Hifdzu ad Din
Yang dimaksud dengan hifdzu ad Din adalah menjaga agama setiap muslim dari segala macam ancaman yang dapat merusak i’tiqodnya. Menjalankan semua perintahnya dan meninggalkan segala larangannya. Dengan adanya penjagaan terhadap setiap individu seorang muslim akan menjadikan kemaslahatan agama secara umum.
Bentuk – bentuk hifdzu ad Din tercermin dalam ibadah seperti : Syahadat, solat, zakat, puasa, haji, jihad mempertahankan eksistensi agama dll.
Hifdzu an Nafs
Yang dimaksud dengan hifdzu an Nafs adalah menjaga ruh setiap individu maupun secara umum. Menjaga ruh secara umum adalah menjaga alam semesta ini. Karena alam sersusun dari kumpulan individu – individu yang memiliki peran masing – masing dalam menjaga kelestarian alam. Begitu juga sebaliknya, dengan stabilitas alam yang baik akan menjadikan individu – individu di dalamnya aman dan terpelihara.
Sedangkan hukum qishash bukan merupakan bentuk hifdzu an Nafs yang diinginkan oleh syara’. Akan tetapi itu adalah bentuk Hifdzu an Nafs yang paling lemah. Karena hukum qishash terjadi setelah adanya kerusakan yang terjadi diantara manusia. maka yang seharusnya menjadi perhatian adalah menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang mengakibatkan hukum qishash. Sebagaimana mencegah penyakit menular dan memberantasnya. Sahabat Umar bin al Khottob telah melarang tentaranya untuk memasuki kota Syam agar terhindar dari wabah penyakit . Dan termasuk dalam maslahat hifdzu an Nafs adalah menjaga anggota badan dari kerusakan.
Hifdzu al ‘Uqul
Yang dimaksud dengan hifdzu al ‘Uqul adalah menjaga akal manusia dari segala macam hal yang dapat merusaknya atau yang menyebabkan cacat. Jika akal manusia rusak, perilaku manusiapun akan menjadi rusak.
Dengan demikian haruslah ada larangan mengkonsumsi hal - hal yang dapat merusak akal, seperti khomr, ciu, pil ekstasi, kokain dan lain sebagainya .
Hifdzu al Mal
Yang dimaksud dengan hifdzu al Mal adalah menjaga harta dari kerusakan dan berpindah tangan kepada orang lain tanpa ganti. Bentuk penjagaan terhadap harta ini tercermin dalam mu’amalah. Seperti: larangan mencuri, merusak harta orang lain, larangan riba dll.
Hifdzu an Nasab
Dan disebut juga oleh sebagian ulama’ dengan hifdzu an Nasal. Jika yang dimaksud hifdzu an Nasab adalah menjaga kesinambungan reproduksi manusia, maka itu adalah termasuk dhoruri. Karena jika kegiatan reproduksi bukan merupakan kewajiban, maka akan terjadi hilangnya generasi penerus daripada manusia.
Sebagaimana yang dikatakan nabi Luth a.s.
قال تعالى : وتقطعون السبيل
Maka bagi laki – laki wajib untuk menjaga alat reproduksinya demi menjaga kelangsungan reproduksi manusia. Begitu pula bagi perempuan untuk menjaganya. Termasuk bagi perempuan dilarang untuk menghilangkan asi ataupun “tempatnya”, karena jika itu dihilangkan akan menjadikan bayi mereka kelaparan bahkan terancam kesempatan hidupnya. Maka itu juga termasuk dalam hifdzu an Nasab.
Dan apabila yang dimaksud dengan hifdzu an Nasab adalah menyambungkan nasab kepada asalnya (bapak, kakek) yang bertujuan untuk menjaga kesempurnaan nikah, maka itu pada dasarnya bukanlah termasuk dalam maslahat dhoruriyah. Dan bentuk hifdzu an Nasab yang semacam ini termasuk dalam maslahat sekunder.
Akan tetapi jika hal ini (hifdzu an Nasab) terabaikan bahkan tidak menjaganya secara keseluruhan, maka akan mengakibatkan madhorot yang besar sehingga akan menjadi maslahat dhoruriyah. Yangmana hal itu untuk memperketat keabsahan dalam masalah pernikahan .
Sedangkan hifdzu al ‘Irdh menurut Ibn ‘Asyur bukan termasuk dalam maslahat dhoruriyah. Akan tetapi masuk dalam maslahat hajiyat. Sedangkan beberapa ulama’ yang menyatakan bahwa hifdzu al ‘Irdh masuk dalam maslahat dhoruriyat adalah Taju ad Din as Subki dalam kitab Jam’u al Jawami’.
II. Masholih Hajiyyat
Yaitu sesuatu yang dibutuhkan oleh umat untuk mempermudah beban hidup dan menghilangkannya. Dan jika hal ini terabaikan, maka umat akan benar – benar merasakan beban dalam hidup namun tidak sampai pada masolih dhoruriyyah. Seperti dalam ibadah: sebuah rukhshoh bagi orang yang sakit maupun orang yang dalam perjalanan dll. Dalam mu’amalah : jual beli, hutang piutang dll. Dan beberapa hukum mu’amalah yang asalnya mubah seperti nikah dan menyambungkan nasab kepada asalnya termasuk juga dalam maslahat hajiyat.
Dan hifdzu al A’radh (menjaga kehormatan) juga termasuk dalam katagori ini. Bentuk hifdzu al A’radh yaitu menghindarkan umat dari sifat menyakiti orang lain dengan mulut. Seperti: mengejek, menghina, memaki dan lain sebagainya.
Termasuk juga dalam katagori ini adalah sesuatu yang sifatnya sebagai saddu dzara’i’ al fasad atau tindak prefentif. Seperti dibentunya tim pengawas dalam suatu struktur organisasi, polisi pengawas syari’ah dll.
III. Masholih Tahsiniyyat
Yaitu sesuatu yang diambil oleh sebagai penyempurna ataupun penghias. Seperti adat yang baik ; berpakaian rapi (satrul ‘aurot), memakai perhiasan, mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melakukan ibadah – ibadah sunnah, adab makan dan minum yang baik, menghindari tempat – tempat yang kotor, menghindari isrof dll.
Imam al Ghozali berkata : “maslahat tahsiniyat adalah sesuatu yang diambil sebagai penghias, mempermudah, menjaga sistem – sistem mu’amalat dan adat yang bagus .
Ketiga maslahat diatas merupakan pembagian yang merujuk pada hukum – hukum yang tertuliskan dalam syara’. Dari maslahat yang disyari’atkan bagi umat untuk melakukan sesuatu maupun untuk meninggalkan perbuatan tertentu.
Dengan berjalannya waktu serta meluasnya dunia islam, tentulah banyak masalah – masalah maupun kejadian yang bermunculan dimana hukum masalah tersebut tidak terdapat dalam nas secara sharih. Maka, salah satu tujuan pemahaman maqoshid secara umum itu adalah agar bisa menentukan hukum masalah – masalah tersebut dengan bersandarkan maqosid syari’ah. Atau yang kita kenal dengan maslahah mursalah.
Maslahat mursalah adalah suatu dalil hukum untuk menentukan permasalahan – permasalahan baru yang tidak muncul pada zaman diturunkannya syari’ah. Maka bagi para ulama khususnya pada masa sekarang ini hendaknya tahu tentang hal dasar hukum ini. Sehingga mampu untuk mengatasi permasalahan – permasalahan yang muncul saat ini. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa sahabat rosul seperti Abu Bakar as Siddiq yang menulis dan membukukan al qur’an pertama kali. Sahabat utsman bin affan yang menjadikan mushaf dalam satu bentuk penulisan saja, sebagaimana yang kita kenal dengan rosm utsmani.
Dasar hukum maqoshid khomsah
Imam as Syathibi berkata : ilmu dhoruriyat ini menjadi qath’i walaupun tidak titetapkan dengan dalil tertentu. Akan tetapi ilmu itu diketahui dengan beberapa dalil pendukung. Dalil pendukung itu adalah hukum – hukum yang terinci dalam alqur’an. Sepeti wajibnya sholat, zakat, puasa, larangan membunuh, larangan mencuri, larangan berzina dll.
Sebagian ulama juga menetapkan bahwa maqoshid khomsah itu merujuk pada ayat :
بأيها النبىّ اذا جاءك المؤمنات يبايعنك على ان لايشركن بالله شيئا ولايسرقن ولايزنين ولايقتلن أولادهن ولايأتين ببهتان يفترينه بين أيديهن وأرجلهن .
Penutup
Demikian sedikit ulasan tentang maqoshid khomsah yang dapat penulis paparkan. Dengan keterbatasan keilmuan yang penulis miliki, Jelas bahwa makalah ini jauh dari pencakupan ilmu maqoshid itu sendiri. Maka dengan ini penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan meminta kesediaanya bagi pembaca untuk turut mengoreksi baik dari segi isi maupun penulisan demi penuju ke arah perbaikan. Dan semoga dengan makalah yang singkat ini bisa diambil manfaatnya. Amin.