Kamis, 11 Maret 2010

Filosofi Air

Allah SWT telah menciptakan dunia seisinya dari makhluk yang memiliki ruh maupun makhluk yang tanpa ruh. dan semua itu Allah ciptakan bukan tanpa tujuan. Karena Allah tidaklah mecinptakan suatu hal secara sia – sia. Makhluk yang memiliki ruh di dalamnya seperti manusia, jin dll, sudah jelas tujuan dibalik penciptaan tersebut. Yaitu untuk menyembah kepada Sang Pencipta. Sedangkan makhluk lainnya adalah disediakan untuk manusia sehingga mereka bisa memanfaatkannya. sebagai bentuk sukurnya kepada Allah SWT.

Air, sebagai mana yang kita ketahui pentingnya keberadaan makhluk tersebut. Dan penulis tidak hendak memaparkan kebutuhan manusia akan air ataupun fungsi pentingnya air. Namun penulis hendak menuliskan makna filosofis yang terdapat pada tingkah dan sifat air. Menjadi sifat air, bahwa ia selalu mengalir dari dataran yang tinggi menuju yang lebih rendah. Semakin rendah dataran yang akan dilaluinya, semakin deras pula tekanan air yang mengalir. Terlebih aliran air dapat semakin deras serta lancar jikalau air tersebut jernih dan tidak mengandung benda – benda yang dapat mengahmbat laju air, seperti : kayu, batu dan lain sebagainya. Dan sebaliknya, jika dataran yang akan dilalui air tersebut terdiri dari dataran yang sama, maka proses aliran air tidak akan deras, bahkan hanya akan mengendap dan tidak akan mengalir. Jadi, agar air bisa terus mengalir, dataran yang akan dilewati haruslah lebih rendah. Itu semua dapat kita analogikan terhadap proses tranformasi ilmu antara guru dan murid. Proses penularan ilmu tersebaut bagaikan aliran air sebagai mana di atas. Guru sebagai orang yang mengalirkan ilmu kepada murid sangat jelas adalah orang yang memiliki keilmuan yang lebih tinggi. Dan murid tentunya adalah orang yang lebih rendah dan “merasa rendah”. Maka, jikalau demikian, proses penularan ilmu akan berjalan dengan lancar. Dan sebailknya, jika seorang murid dalam proses tersebut “merasa tinggi”,maka itu akan menyulitkan proses penularan ilmu. Karena kedua arah adalah sama – sama tinggi atau “merasa tinggi”. Dengan demikian, bagi para pencari ilmu (murid) hendaknya sadar untuk tidak merasa tinggi (tawadhu’), walaupun Si murid tahu bahwa sang guru adalah orang yang umurnya setara dengannya, bahkan lebih muda darinya. Hal itu sangat mungkin, karena setiap orang adalah “guru” bagi orang lain. Semakin kita tawadhu’, semakin deras ilmu akan mengalir..!!

Maka, hendaknya kita sebagai penuntut ilmu menanamkan sifat tawadhu’ dalam diri masing - masing. Sehinga apa yang kita cari yang tidak lain adalah ilmu, akan diperoleh melalui proses yang lancar tanpa ada hambatan yang berarti. Allahumma, amiin.


0 komentar:

Posting Komentar

  ©Template by Dicas Blogger.